"Saya mungkin penggemar yang keterlaluan, keingintahuan saya terlalu besar tentang sinden itu, sehingga saya memberanikan diri kemari, Pak."
"Sinden yang mana yang Adik maksud, disini ada duapuluh sinden, dan tidak semua ikut bersama dalam satu acara."
Dayat mengeluarkan lukisan yang dibawa dan menunjukkannya pada Pak Dalang.
"Mohon maaf, Pak. Barangkali lukisan ini tidak sopan, karena tampak telanjang meskipun terlihat dari belakang. Saya juga tidak mengerti mengapa melukisnya demikian. Tangan saya seperti tak pernah terkendali saat melukisnya, Pak."
Pak Dalang meraih lukisan itu. Beliau memandang tajam. Tersentak, menahan nafas.
"Dia bukan sinden, dia putriku yang hilang sejak lima tahun yang lalu, antarkan aku ke telaga itu! Barangkali ada yang bisa kutemukan disana."
Dayat tertegun. Dia pikir pertemuannya dengan Pak Dalang akan menjawab semua rasa penasarannya, ternyata malah menambah tanya yang tak terjawab. Apakah yang selama ini menghantui pikirannya itu benar-benar hantu? Lalu apa hubungannya dengan telaga itu? Apakah ada jasatnya disana? Mengapa dia menampakkan diri dalam telanjang? Apakah dia diperkosa lalu dibunuh? Dayat mendesah pelan.
Â
 Jogjakarta, 10 September 2015
Â
Karya ini orisinil dan belum pernah dipublikasikan