Mohon tunggu...
Maya Batari
Maya Batari Mohon Tunggu... Guru - Single Cool

mencintai diri sendiri dimulai dari dalam hati yang selalu berpikir positif dan bahagia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rahasia Cinta Sang Pewaris #Bab 38

10 Juni 2021   10:40 Diperbarui: 10 Juni 2021   10:54 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku sudah merebut Mas Baruna dari Windri," ucap Rike lesu. Dia dan Utari sedang duduk di pinggir kebun Stroberi, sementara suami mereka tengah memetik buah merah itu di tengah perkebunan luas itu.

Beberapa kali Bagus mengedipkan satu mata dengan genit ke arah Utari hingga membuat wanita itu ingin menimpuknya. Namun senyum terbit juga di bibir Utari. Pria itu memang selalu berhasil menggoda dirinya.

Bagus memperbaiki letak caping yang menutupi kepala, dan dia terlihat menyibukkan diri kembali dengan Baruna. Keduanya tampak terlibat percakapan serius, namun diselingi gelak tawa dari mulut keduanya.

Utari masih terdiam demi mendengar penuturan Rike. Dia sudah menduga, jika Rike pasti masih menyalahkan dirinya. Tanpa sadar, sebuah senyum kecil kemudian menghias bibirnya. Benar, Rike terlalu rapuh.

"Kenapa?" tanya Utari lembut.

"Mas Bagus pasti sudah menceritakannya kepadamu. Kamu sudah tahu alasannya bukan?"

Utari menggenggam jemari kurus Rike, "Ceritalah, Mbak. Mungkin dengan berbagi beban itu kepada orang lain, perasaan Mbak Rike akan lebih baik. Anggap aku belum pernah mendengar cerita itu."

Rike tampak tersenyum lelah, "Aku bahkan sudah menyerah, Ri. Lima tahun mempertahankan rumah tangga ini, aku sudah berharap banyak. Nyatanya aku memang harus mengakui kekalahanku."

"Mbak, di dalam sebuah rumah tangga, tidak ada pihak yang menang dan kalah. Suami dan istri, semua saling melengkapi satu sama lain."

"Mas Baruna tidak pernah mencintaiku, Ri. Dia bersedia menikahiku dan tidak pernah meninggalkanku, semata karena dia takut aku akan bunuh diri. Seperti dulu. Di dalam hatinya hanya ada Windri dan anak itu."

Sebutir bening jatuh di pipi mulus wanita itu. "Aku sangat mencintai Mas Baruna. Sebelum Windri hadir, kami adalah pasangan yang saling mencintai. Namun Windri merusak semua impian indahku."

Utari diam menyimak. Dia tidak ingin menyela, apapun yang akan diceritakan oleh Rike, "Dia menggoda Mas Baruna, dan menjebaknya hingga Windri mengandung."

"Waktu itu, Mas Baruna memintaku melepaskannya demi anak di dalam kandungan Windri. Tapi aku menolak, dan aku melakukan tindakan bodoh itu."

"Apa yang Mbak, lakukan?"

"Aku menemui Windri, dan berlutut kepadanya agar melepaskan Mas Baruna. Kamu tahu apa yang dia katakan kepadaku?"

"Apa?"

"Dia mengatakan, jika dia tidak menginginkan Mas Baruna menjadi suaminya. Anak itu bukan untuk mengikat Mas Baruna, namun untuk mengikat pria lain. Dia bilang jika Mas Baruna bukan pria yang dia inginkan, namun dia akan mempertahankan bayi itu."

Dada Utari kini mulai berdesir tidak enak. Nalurinya sebagai seorang istri mengatakan banyak hal. Jadi, cerita versi mana yang harus dipercayai?

"Jadi, sejak awal Mas Baruna dan Mbak Rike sudah tahu, jika wanita itu sedang mengandung?"

"Iya, kami sudah tahu. Dia tidak ingin terikat dengan Mas Baruna. Dia hanya memintaku untuk menjauh dari kota ini, dengan membawa Mas Baruna. Bagaimanapun caranya."

Keringat dingin kini mulai membasahi punggung Utari. Jadi, dugaannya selama ini memang tidak keliru.

"Dan Mbak Rike mengiyakan begitu saja?"

"Aku mencintai Mas Baruna, Ri. Sangat mencintainya. Hingga apapun akan aku lakukan, asalkan bisa bersamanya."

"Lalu apa permintaan Windri?" tanya Utari meski sudah dapat menebak sendiri.

"Dia memintaku melepaskan posisi Waranggana di grup Karawitan milik Mas Bagus. Aku menerimanya, dan pergi menjauh dari kota ini."

"Tapi Bukankah waktu itu Mas Bagus masih bekerja di Jakarta?"

"Kamu benar, Ri. Tapi Mas Bagus selalu pulang rutin setiap sebulan sekali. Dia sangat mencintai kesenian ini, bahkan dia juga belajar khusus dari pengendang ternama. Selain itu, suaranya juga sangat bagus. Namun semenjak aku keluar, aku mendengar dia tidak mau lagi berduet dengan siapapun."

"Bahkan termasuk dengan Mbak Windri?"

"Iya. Bahkan dengan Windri sekalipun."

Utari tampak menghela napas panjang. "Sekarang apa yang ingin Mbak Rike lakukan?"

"Aku ingin berpisah dari Mas Baruna. Karena lima tahun bersama, ternyata tidak pernah mengubah hatinya. Aku bahkan tahu, jika diam-diam dia sering menemui Windri dan anaknya."

"Be---benarkah?" tanya Utari tidak percaya.

Jadi, selama ini Windri sudah berbohong kepada Bagus, "Windri tidak keberatan jika Mas Baruna menemui anaknya. Aku bahkan beberapa kali bertemu dengan Windri, dan dia memamerkan foto-foto kebersamaan itu tanpa merasa bersalah."

"Bukannya selama ini Windri tinggal di sini, Mbak?"

Rike tampak tersenyum miris, "Hanya setelah Mas Bagus memutuskan menetap di sini. Dulu dia berdomisili di Jakarta. Dia sering diundang untuk menari di acara-acara kenegaraan."

Rike menatap Utari sayu, seakan ada banyak hal yang ingin dia ungkapkan. "Di sana dia sering melihat Mas Bagus, dan dia mulai menyimpan perasaan itu, bukan?"

"Ri, maafkan aku."

"Untuk apa, Mbak? Mas Bagus saja yang bodoh karena mau diperdaya oleh wanita ular seperti Windri!"

"Dia sangat pintar memanipulasi."

"Aku tahu, Mbak. Dari awal melihatnya, perasaanku juga sudah tidak enak. Aku adalah istri Mas Bagus, tapi dia seperti ingin menunjukkan jika hubungannya dengan suamiku lebih spesial."

"Bahkan Mas Baruna sudah terjerat begitu dalam. Kamu harus tahu, jika kami hanya suami istri di atas kertas. Dia---dia tidak pernah mau menyentuhku, Ri."

"Maksud---maksud Mbak Rike?" tanya Utari tidak percaya. Dia menatap wajah Rike yang tertutup mendung, namun anggukan itu semakin mengiris hatinya.

Utari kemudian mengalihkan tatapannya. Di sana, dua orang pria itu sedang tertawa riang. Seperti tidak ada beban berat yang mereka pikul. Mereka tidak tahu, jika istri-istri mereka tengah terluka. Semua karena satu wanita.

Windri menjerat dua pria itu, untuk keuntungannya sendiri. Wajah cantik dan pesonanya, sudah menipu semua orang. Utari tidak mau kebahagiaannya hancur. Diapun tidak mau melihat rumah tangga Rike hancur.

"Jangan pernah melepaskan Mas Baruna, Mbak."

Rike bangun dari rerumputan. Dia bersandar pada pagar bambu, dan menatap ke hamparan pegunungan hijau di sana. Semilir angin membelai rambutnya yang panjang dan terurai indah.

"Aku tidak mau mempertahankan sesuatu yang memang sejak awal tidak ditakdirkan menjadi milikku. Sudah cukup semua kesakitan yang aku alami selama ini. Mencintai sendiri itu sangat menyiksa hati."

"Apa Mbak, akan membiarkan wanita itu menang?"

"Hati Mas Baruna bukan milikku lagi, Ri."

"Darimana Mbak akan tahu, jika Mbak saja belum berusaha?"

"Semua sudah jelas, Ri."

"Setelah semua yang Mbak alami, sekarang mau membuangnya begitu saja? Bagaimana jika Mas Baruna menjauh, karena sikap Mbak Rike yang tidak mau didekati?"

"Dia pasti membenciku, karena menjauhkannya dari wanita itu. Apalagi dia tahu, jika sekarang dia memiliki putra. Aku yang pantas disalahkan, karena tidak mau melepaskan ikatan itu. Aku yang sudah memaksakan diri, untuk memilikinya."

"Apa kalian sudah pernah membicarakan masalah ini?"

"Untuk apa? Itu hanya akan mengorek luka lama. Aku sangat takut jika Mas Baruna semakin membenciku."

Wanita itu tampak kian rapuh di mata Utari. Cinta ternyata sudah begitu membutakan dan melemahkan. Tidak ada yang salah. Hanya saja kebungkaman Rike justru membuat hubungannya dengan Baruna kian buruk.

"Aku dulu mencoba bunuh diri, ketika Mas Baruna akan meninggalkanku. Aku mengancamnya. Jika dia meninggalkanku, maka dia akan kehilangan diriku selamanya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun