"Jangan pernah melepaskan Mas Baruna, Mbak."
Rike bangun dari rerumputan. Dia bersandar pada pagar bambu, dan menatap ke hamparan pegunungan hijau di sana. Semilir angin membelai rambutnya yang panjang dan terurai indah.
"Aku tidak mau mempertahankan sesuatu yang memang sejak awal tidak ditakdirkan menjadi milikku. Sudah cukup semua kesakitan yang aku alami selama ini. Mencintai sendiri itu sangat menyiksa hati."
"Apa Mbak, akan membiarkan wanita itu menang?"
"Hati Mas Baruna bukan milikku lagi, Ri."
"Darimana Mbak akan tahu, jika Mbak saja belum berusaha?"
"Semua sudah jelas, Ri."
"Setelah semua yang Mbak alami, sekarang mau membuangnya begitu saja? Bagaimana jika Mas Baruna menjauh, karena sikap Mbak Rike yang tidak mau didekati?"
"Dia pasti membenciku, karena menjauhkannya dari wanita itu. Apalagi dia tahu, jika sekarang dia memiliki putra. Aku yang pantas disalahkan, karena tidak mau melepaskan ikatan itu. Aku yang sudah memaksakan diri, untuk memilikinya."
"Apa kalian sudah pernah membicarakan masalah ini?"
"Untuk apa? Itu hanya akan mengorek luka lama. Aku sangat takut jika Mas Baruna semakin membenciku."