Mohon tunggu...
Maya Batari
Maya Batari Mohon Tunggu... Guru - Single Cool

mencintai diri sendiri dimulai dari dalam hati yang selalu berpikir positif dan bahagia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rahasia Cinta Sang Pewaris #Bab 37

3 Juni 2021   19:21 Diperbarui: 3 Juni 2021   20:19 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.idntimes.com/life/relationship/vitara-gesa/sepasang-merpati-yang-dipisahkan-pemilik-nya-c1c2/1

"Mbak Windri? Ada apa ya, sepagi ini sudah berkunjung?" tanya Utari begitu membuka pintu. Dia agak terkejut ketika melihat Windri sudah berdiri di depan pintu rumah mertuanya.

"Selamat pagi, Ri. Maaf, apa aku menganggu?" Windri terlihat agak tidak nyaman, terlebih melihat penampilan Utari saat ini. Wanita itu hanya mengenakan tang top berbahan batik, dengan paduan celana hot pants yang tidak menutupi keindahan paha mulusnya.

"Tidak, Mbak. Masuk saja! Kebetulan kami baru mau sarapan." Senyum merekah di bibir Utari. "Kebetulan juga Mas Bagus baru kembali dari olahraga pagi."

"Terima kasih," sahut Windri yang langsung mengikuti langkah Utari menuju ruang makan. Begitu sampai di sana, wajah Windri seketika memucat. Dia seperti baru saja melihat hantu yang membuatnya sangat ketakutan. "M---mas Baruna? M---mbak Rike?"

Utari agak terkejut, ketika Windri berbalik dan berlari kencang keluar rumah. Dia menatap ke arah ruang makan, dan langsung mengerti mengapa Windri bersikap demikian.

Baruna dan Rike sudah bergabung dengan Bagus Pandhita dan ibu mertuanya. Mereka sedang asyik bercakap-cakap, dan sepertinya tidak mengetahui kedatangan Windri. Utari sedikit lega, namun tak ayal dia penasaran jika ketiga orang itu bertemu.

Saat Utari pergi ke depan, pasangan suami istri itu masih berada di kebun belakang. Bagus Pandhita tengah memamerkan koleksi Anggrek langka yang dimilikinya. Siapa yang mengira jika mereka begitu cepat kembali ke ruang makan.

"Siapa, Nduk?" tanya Naira begitu Utari sudah bergabung, dan duduk di sebelah suaminya.

"Oh, itu tadi hanya penjual jamu. Tapi sudah pergi." Utari langsung menekuri piring berisi nasi goreng di hadapannya. Tentu saja dia tidak ingin kebohongannya di ketahui semua orang.

"Iya, tidak usah minum jamu! Kamu harus banyak makan, bukannya mengurangi makan. Ibu akan menahan kamu di sini, jika berat badan kamu terus saja turun!"

"Ibu, ini sudah ideal!" protes Utari yang melirik sedikit pada tubuhnya yang bisa dikatakan tidak terlalu kurus, namun tidak terlalu berisi juga.

"Ideal? Bagus, kamu sepertinya harus sering-sering mengajak Riri makan di sini! Memangnya apa sih, yang dimasak sama asisten rumah tangga kalian?"

"Ibu, jangan menggoda Riri lagi! Malu kan, kita ada tamu." Bagus mencoba menengahi, sebelum perdebatan kedua wanita yang sangat disayanginya itu berlanjut.

Naira tampak mengalihkan fokusnya kepada Rike dan Baruna, yang sedari tadi hanya tersenyum melihat pemandangan itu. Rike bahkan iri dengan kedekatan Utari dan mertuanya. Ada desiran perih yang kembali menggores dadanya, mengingat mertuanya yang selama ini seperti masih belum bisa menerima dirinya.

"Kenapa kalian hari ini tidak pergi piknik saja? Kamu sedang bebas tugas kan, Gus? Baruna dan Rike sudah lama tidak pulang, temani mereka pergi ke mana gitu."

"Kita ke kebun Stroberi aja gimana? Setelah itu kita bisa pergi ke tempat wisata baru itu, loh Mas."

"Boleh saja."

"Apa kami tidak menganggu?" tanya Rike agak ragu. Dia tampak melirik pada sang suami, yang masih terlihat diam.

"Kita yang kepengin ngajakin kalian. Masa ada tamu dari jauh, tapi tidak dibawa ke mana-mana." Bagus menyahut setelah melihat Baruna tidak merespon apapun.

"Mas Baruna mau pergi dengan kita, kan?" tanya Utari hati-hati, berdoa semoga pria itu tidak menolak.

"Boleh. Tapi apa hari ini tidak ada latihan Karawitan?" Baruna tampak sedikit kecewa dengan kenyataan itu.

"Hari ini aku meliburkan semua personil. Sejak tahu kalian akan datang kemari, aku sudah berniat akan mengajak kalian piknik."

"Oh! Kalau begitu saya ikut Mas Bagus saja." Ada kekecewaan dalam nada lembut ucapan Baruna. Namun dia seperti enggan menolak.

Utari menyenggol kaki Bagus di bawah meja, hingga pria itupun menoleh sekilas kepadanya. Ada senyum tidak kentara yang dilemparkan pria itu kepada sang istri. Baik Utari maupun Bagus sangat mengerti, jika Baruna datang lebih pagi bukan karena alasan biasa.

"Ya, sudah. Kalau begitu cepat habiskan sarapan kalian. Ini sudah masuk musim hujan. Kalau kalian perginya kesiangan, takutnya nanti kehujanan di sana."

Naira mengingatkan mereka. Sebagai seorang ibu, dia sangat memahami kegalauan hati Baruna. Meski sudah lima tahun berlalu, namun sepertinya peristiwa itu masih membekas di benak pria itu. Perjalanan cinta Baruna dan Rike memang terlalu rumit, apalagi dengan Windri di tengah-tengah mereka.

Begitu selesai sarapan, Utari segera pergi ke kamar. Mereka memang memutuskan menginap di rumah itu, setelah berbaikan.

"Jadi, Windri tadi datang kemari, kan?" tanya Bagus sambil memeluk sang istri dari belakang.

Utari hanya mengangguk samar, karena lehernya sudah menjadi sasaran empuk kecupan-kecupan hangat pria itu. "Mas, nanti kita telat nyamperin mereka!"

"Biarkan. Kenapa kita tidak membuat mereka bertiga bertemu saja?"

Utari melepaskan kedua tangan Bagus. Dia memutar tubuhnya, dan terlihat makin kesal dengan senyum kecil yang menghias bibir pria itu. "Apa Mas sudah gila? Jika mereka bertiga bertemu, maka Mbak Rike akan semakin terluka!"

"Tapi suatu saat mereka akan bertemu juga, kan?"

"Setidaknya untuk saat ini, hal itu belum terjadi!"

"Kenapa? Setelah semua yang kuceritakan kepadamu, apa kamu juga membenci Windri?"

Utari melepaskan celana super pendeknya, di depan mata Bagus Pandhita. Pria itu tampak menahan napas, saat melihat tubuh bagian bawah istrinya yang hanya tertutup secarik kain yang begitu minim. Utari tampak tidak peduli, dan terlihat santai ketika mengenakan sebuah celana jeans panjang.

"Mas, belum ganti?" tanya Utari ketika berbalik dan menemukan Bagus yang masih berdiri tidak jauh darinya.

"Dan melewatkan pemandangan indah?" Bagus mendekat sebelum menunduk dan memberikan sebuah kecupan ringan.

Mulanya Bagus hanya ingin mencicipi sedikit bibir Utari. Namun rasa manis di atas bibir itu, selalu membuat dirinya mabuk. Hingga diapun memperdalam ciumannya. Utari juga tidak menolak. Wanita itu mengerang penuh damba, begitu tangan Bagus mulai membelai tubuhnya.

"Kita akan telat, Mas!" seru Utari begitu tubuhnya sudah menyentuh kasur, dengan Bagus berada di atasnya.

"Apa itu begitu penting? Biasanya jam segini kita baru bangun, kan?" kilah Bagus mengingatkan Utari akan kebiasaan mereka jika hari libur.

"Tapi ini di rumah ibu! Apa kata beliau jika kita masih saja di kamar jam segini?" erang Utari yang tidak mampu menyingkirkan tubuh liat Bagus.

"Dengan satu syarat,"

"Apa?"

Mata tajam pria itu menatap dalam, hingga membuat Utari panas dingin. Utari dapat melihat kabut gairah yang memenuhi mata suaminya. Bahkan dia juga menginginkan Bagus. Jika pria itu ingin menerkam, maka Utari ingin mencabik-cabik.

Ya Tuhan! Utari agak malu dengan pemikiran liar itu. Sekarang dia seperti kucing hutan. Tapi kini, memang dia merasa lebih bebas mencintai suaminya.

Mencintai?

Bahkan mereka belum pernah mengungkapkan kalimat sakral itu, satu sama lain.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun