"Kenapa? Setelah semua yang kuceritakan kepadamu, apa kamu juga membenci Windri?"
Utari melepaskan celana super pendeknya, di depan mata Bagus Pandhita. Pria itu tampak menahan napas, saat melihat tubuh bagian bawah istrinya yang hanya tertutup secarik kain yang begitu minim. Utari tampak tidak peduli, dan terlihat santai ketika mengenakan sebuah celana jeans panjang.
"Mas, belum ganti?" tanya Utari ketika berbalik dan menemukan Bagus yang masih berdiri tidak jauh darinya.
"Dan melewatkan pemandangan indah?" Bagus mendekat sebelum menunduk dan memberikan sebuah kecupan ringan.
Mulanya Bagus hanya ingin mencicipi sedikit bibir Utari. Namun rasa manis di atas bibir itu, selalu membuat dirinya mabuk. Hingga diapun memperdalam ciumannya. Utari juga tidak menolak. Wanita itu mengerang penuh damba, begitu tangan Bagus mulai membelai tubuhnya.
"Kita akan telat, Mas!" seru Utari begitu tubuhnya sudah menyentuh kasur, dengan Bagus berada di atasnya.
"Apa itu begitu penting? Biasanya jam segini kita baru bangun, kan?" kilah Bagus mengingatkan Utari akan kebiasaan mereka jika hari libur.
"Tapi ini di rumah ibu! Apa kata beliau jika kita masih saja di kamar jam segini?" erang Utari yang tidak mampu menyingkirkan tubuh liat Bagus.
"Dengan satu syarat,"
"Apa?"
Mata tajam pria itu menatap dalam, hingga membuat Utari panas dingin. Utari dapat melihat kabut gairah yang memenuhi mata suaminya. Bahkan dia juga menginginkan Bagus. Jika pria itu ingin menerkam, maka Utari ingin mencabik-cabik.