"Sepertinya Mbak Rike, orang yang baik." Utari mencoba menekan rasa kecewa yang kini bercokol di dalam dadanya.
"Tentu saja, bukankah dia masih saudaraku?"
"Aku dengar dia seorang Waranggana, sebelum Mbak Windri merebut posisinya."
"Siapa yang memberitahumu?" tanya Bagus terkejut, akan tetapi dengan cepat disembunyikan di balik ketenangannya yang sudah terlatih.
Namun Utari terlanjur melihat riak kegelisahan itu. Sekarang dia mulai ragu, jika dirinya sudah mengenal Bagus Pandhita sepenuhnya. Yang jelas dadanya mulai merasakan nyeri, begitu sosok Windri kembali menjadi penyebab pertengkaran mereka.
"Kenapa Mas Bagus ingin menyembunyikannya dariku?" elak Utari dengan mata mulai berkaca-kaca.
Bagus mencoba meraih tangan Utari, tapi ditepiskan dengan cepat oleh wanita itu. Kali ini Utari bertekad tidak akan jatuh ke dalam bujuk rayu Bagus, sebelum semua menjadi jelas baginya.
"Mas tidak menyembunyikan apapun darimu!" Bagus Pandhita terlihat masih mencoba mengelak.
"Sampai kapan Mas akan terus berdusta seperti ini? Katanya kita akan membangun masa depan bersama, tanpa ada rahasia ataupun dusta. Kita akan mencoba menerima semua kekurangan dan kelebihan kita! Tapi kenapa Mas tega banget seperti ini?"
"Ini tidak seperti yang kamu pikirkan!" Bagus menghela napas panjang. Utari akan semakin menjauh, jika dia terus menghindar untuk tidak menjawab.
"Memangnya apa yang Mas tahu, mengenai apa yang sekarang aku pikirkan?" balas Utari ketus.