Mohon tunggu...
Maya Batari
Maya Batari Mohon Tunggu... Guru - Single Cool

mencintai diri sendiri dimulai dari dalam hati yang selalu berpikir positif dan bahagia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Rahasia Sang Pewaris #Bab 35

25 Mei 2021   06:08 Diperbarui: 25 Mei 2021   06:15 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sudah berapa lama, Mbak Rike menikah?" tanya Utari dengan wajah penasaran.

Wanita berparas anggun itu tampak tersenyum simpul. Satu tangannya masih mengaduk-aduk sop kacang merah di hadapannya. Sepertinya dia sudah kehilangan selera makan, begitu Utari melontarkan pertanyaan itu.

"Aku dan Mas Baruna sudah menikah lima tahun. Sayang, Tuhan masih belum memberikan kepercayaan kepadaku untuk menjadi seorang ibu."

Utari menghela napas, teringat dengan pernikahannya yang baru seumur jagung. Tiba-tiba, bayangan Windri begitu deras menghantui pikirannya. Meski Bagus sudah berkata telah menyerahkan seluruh hati hanya untuk Utari, tapi ada kebimbangan masih menghantui.

Mengingat senyum bahagia di wajah Bagus kala bersama Windri dan anaknya, seketika membuat dadanya berdesir pedih. Tapi bahkan pria itu selalu memperlakukan dirinya dengan penuh cinta.

"Sabar, Mbak. Sebagai manusia, kita tidak boleh putus asa. Apalagi Mbak Rike dan Mas Baruna masih sama-sama muda. Mungkin Tuhan sedang memberi kesempatan, agar kalian lebih lama menikmati bulan madunya."

"Ah! Kamu bisa saja!" Ada senyum mengembang di wajah Rike.

Rike berusaha menampilkan wajah ceria dan bahagia, seperti Ibu pejabat lain. Namun siapa yang tahu, jika di dalam hatinya sudah remuk redam. Nyonya Naira, dan Ibu mertuanya tampak tengah berbincang akrab. Kedua wanita itu mengetahui masa lalu pahit yang membelenggu dirinya.

"Meskipun Mbak Rike masih saudaranya Mas Bagus, tapi aku jarang liat Mbak di rumah, ya? Bahkan pas nikahan aja, aku hanya diperkenalkan dengan Mas Baruna."

"Iya, selama ini aku memang tinggal di Bandung. Waktu kamu dan Mas Bagus nikah, aku sedang sakit. Jadi, aku tidak bisa ikut. Maaf ya, karena aku tidak bisa menghadiri acara penting kalian."

"Tidak masalah, Mbak. Aku hanya berharap, agar Mbak lebih sering mampir ke sini kalau mudik."

"Asal Mas Bagus tidak mengusirku saja," ucap Rike menerawang, seakan tidak sadar dengan ucapannya.

"Dia pasti senang, kok." Utari tidak menyadari perubahan raut wajah Rike, yang terlihat begitu sedih dan terluka.

Mereka memang bertemu secara tidak sengaja. Utari dan Naira baru saja selesai menghadiri pembukaan Rumah Sakit Daerah yang baru, dan memilih mampir untuk menikmati segelas dawet ayu di Warung favorit Naira.

Siapa yang sangka, jika mereka akan bertemu pasangan ibu dan anak itu. Wulan, mertua Rike ternyata masih saudara jauh Naira. Kakek mereka masih kakak adik. Sementara Naira dan Wulan melepas rindu, Utari akhirnya mengajak Rike bergabung.

Rike tipe wanita Jawa yang lemah lembut. Di usianya yang memasuki pertengahan tiga puluhan, dia masih terlihat segar dan menawan. Tubuhnya tinggi dan langsing, dengan kulit yang terlihat terawat. Namun ada satu hal yang membuat Utari mengerutkan dahi.

Sangat jelas terlihat jika wanita itu tidak bahagia. Entah karena apa. Untuk bertanya, Utari merasa enggan. Karena mereka baru saja bertemu. Akan tidak sopan, jika dia langsung bertanya masalah pribadi kepada wanita itu.

"Bagus adalah pria yang sangat baik dan humoris. Dulu setiap gadis ingin menjadi kekasihnya, karena kebaikan dan keramahan yang dia miliki."

"Mantannya pasti sepanjang gerbong kereta api!"

"Tidak juga."

"Mbak Rike, nggak usah membela Mas Bagus! Meski dia bukan playboy, tapi wanita mana sih, yang bisa menolak pesona dari kata-kata mautnya?"

"Jadi, ceritanya sedang curhat, nih?"

"Mbak Rike!"

"Tapi bener, kok! Mungkin karena Mas Bagus terlalu baik kepada siapapun, sehingga terkadang sikapnya sering disalah artikan. Setauku selain dengan tiga mantan yang sangat terkenal itu, Mas Bagus tidak pernah memiliki hubungan istimewa lagi, dengan siapapun. Sampai dia bangkotan, dan ketemu kamu."

"Aku benar-benar wanita yang beruntung, bukan?" tanya Utari dengan memelas. Usianya baru akan memasuki 24 tahun, tapi suaminya sudah berkepala empat.

"Jangan biarkan wanita manapun memanfaatkan kebaikan hatinya. Jika perlu, ikat dia dengan semua pesona yang kamu miliki."

Bayangan Windri kembali melintas di benak Utari, "Apa Mbak Rike tahu masalah jodoh untuk anak lelaki keluarga Rekshananta?"

"Beruntung sekali, karena kamu yang menemukan tempat itu. Katakan kepadaku, apakah tempat itu indah? Bulan madu kalian pasti sangat mengesankan, karena tempat itu tidak akan ditemukan oleh siapapun."

"Masalahnya, Mas Bagus terlalu sibuk semenjak menikah denganku. Dia hampir tidak memiliki waktu untuk kami pergi hanya berdua." Kecuali satu waktu untuk menemani Windri dan Agni.

"Seharusnya dia lebih mencurahkan perhatiannya kepadamu," gumam Rike seperti menyembunyikan sesuatu.

"Mungkin jika dia sudah tidak terlalu sibuk."

"Sampai kapan?"

Bahkan cendol segar dan manis di depannya, terasa tak berasa lagi. Kehidupan rumah tangga mereka berjalan dengan baik. Perlahan perasaan memiliki itu tumbuh di antara keduanya. Utari mulai menikmati saat-saat bersama dengan sang suami. Namun menguak masa lalu Bagus, masih seperti menelusuri hutan belantara.

"Apa Mbak Rike juga kenal dengan Mbak Windri?" tanya Utari akhirnya. Dia mengambil kesimpulan, jika Rike mungkin tahu mengenai hubungan Bagus dan wanita itu di masa lalu.

Rike terbatuk dengan keras. Sepertinya dia tersedak minuman yang tadi hendak ditelan. Utari cepat-cepat mengangsurkan segelas air putih, dan berusaha menepuk-nepuk punggung wanita itu.

"Kalau minum hati-hati, Nduk!" tegur Wulan yang menatap penuh peringatan kepada Rike. Entah mengapa, sekilas Utari dapat melihat sorot kebencian mendalam di mata wanita itu.

"Iya, Bu." Rike menyahut begitu batuknya sudah mereda. Dia mengelap mulut dengan tisu, kemudian menarik napas panjang.

"Mbak Rike tidak apa-apa?" tanya Utari dengan nada khawatir.

"Tidak. Tadi hanya tersedak biasa. Aku rasa, es cendol ini terlalu manis untukku."

"Apa mau aku pesankan yang lain?"

Rike tampak menggeleng. "Tidak, sepertinya aku sudah kenyang."

Utari tidak mau memaksa. Bahkan diapun tidak mau mendesak Rike, untuk menceritakan mengenai Windri. Meski hatinya yakin, Rike mengetahui banyak hal mengenai masa lalu suaminya.

"Kamu juga mengenal---wanita itu?" tanya Rike akhirnya. Dia seperti enggan menyebutkan nama Windri.

"Mbak Windri?"

Rike mengangguk, "Kamu ingin tahu mengenai dia bukan?"

"Mbak Windri sudah beberapa bulan ini tinggal kembali di Kota ini. Dia menjadi Waranggana di grup Karawitan Kabupaten. Setiap minggu, mereka berlatih di Pendopo rumah Mas Bagus."

"Jadi, kelompok itu masih ada sampai sekarang? Mas Ragil, Mas Ardi, dan yang lain juga masih di sana?"

"Mbak kenal mereka juga?" tanya Utari dengan mata terbelalak.

Tawa renyah mengalun dari bibir Rike, "Dulu aku juga orang sini, kan? Sebelum Windri masuk dan merebut posisi itu, aku duluan yang menjadi Waranggana!"

"Mbak Rike seorang Waranggana?"

Rike melambaikan satu tangannya, tanda dia tidak terlalu peduli dengan keterkejutan Utari. Namun siapa yang menduga, jika wanita yang sukses dengan outlet basonya itu dahulu adalah seorang penyanyi lagu-lagu Jawa.

"Aku bahkan berani bertaruh, kamu belum pernah mendengar suara merdu Mas Bagus saat melantunkan tembang-tembang Jawa."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun