"Asal Mas Bagus tidak mengusirku saja," ucap Rike menerawang, seakan tidak sadar dengan ucapannya.
"Dia pasti senang, kok." Utari tidak menyadari perubahan raut wajah Rike, yang terlihat begitu sedih dan terluka.
Mereka memang bertemu secara tidak sengaja. Utari dan Naira baru saja selesai menghadiri pembukaan Rumah Sakit Daerah yang baru, dan memilih mampir untuk menikmati segelas dawet ayu di Warung favorit Naira.
Siapa yang sangka, jika mereka akan bertemu pasangan ibu dan anak itu. Wulan, mertua Rike ternyata masih saudara jauh Naira. Kakek mereka masih kakak adik. Sementara Naira dan Wulan melepas rindu, Utari akhirnya mengajak Rike bergabung.
Rike tipe wanita Jawa yang lemah lembut. Di usianya yang memasuki pertengahan tiga puluhan, dia masih terlihat segar dan menawan. Tubuhnya tinggi dan langsing, dengan kulit yang terlihat terawat. Namun ada satu hal yang membuat Utari mengerutkan dahi.
Sangat jelas terlihat jika wanita itu tidak bahagia. Entah karena apa. Untuk bertanya, Utari merasa enggan. Karena mereka baru saja bertemu. Akan tidak sopan, jika dia langsung bertanya masalah pribadi kepada wanita itu.
"Bagus adalah pria yang sangat baik dan humoris. Dulu setiap gadis ingin menjadi kekasihnya, karena kebaikan dan keramahan yang dia miliki."
"Mantannya pasti sepanjang gerbong kereta api!"
"Tidak juga."
"Mbak Rike, nggak usah membela Mas Bagus! Meski dia bukan playboy, tapi wanita mana sih, yang bisa menolak pesona dari kata-kata mautnya?"
"Jadi, ceritanya sedang curhat, nih?"