Mohon tunggu...
Maya Batari
Maya Batari Mohon Tunggu... Guru - Single Cool

mencintai diri sendiri dimulai dari dalam hati yang selalu berpikir positif dan bahagia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rahasia Cinta Sang Pewaris #Bab 13

11 April 2021   20:58 Diperbarui: 11 April 2021   21:12 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika ada tempat terakhir yang ingin didatangi, maka Utari akan memilih rumah kediaman Rekshananta. Hari minggu yang salah. Utari menyebutnya demikian, karena dia berpikir tidak seharusnya dia datang ke sana. Dia merasa sangat tidak nyaman, meski dirinya mencoba untuk membaur dengan orang lain.

"Sejak kapan kamu menyukai karawitan?" Puspa bertanya dengan wajah datar.

Utari pura-pura tidak mendengar pertanyaan itu. Inderanya sedang tertuju pada bunyi gamelan yang mendayu indah, dengan suara merdu Windri Asih sebagai latar belakang.

"Sejak lama, hanya saja saya tidak pernah tahu jika di sini juga ada latihan rutin seperti ini." Utari menatap Bagus Pandhita yang tengah menabuh Kendang dengan lihai.

"Yakin tadi ketemu Bapak di jalan, dan disuruh mampir ke sini?"

"Iya, Bu Puspa." Utari mengumpat di dalam hati, sebelum meneguk jus jeruk dingin di gelasnya. Mereka duduk lesehan di lantai Pendopo, sementara para seniman sedang sibuk berlatih memainkan alat musik gamelan.

Karena kondisi pertunangan Utari dan Bagus Pandhita yang masih dirahasiakan, maka sebisa mungkin Utari mencari alasan yang paling tepat. Bagus Pandhita memang suka melakukan lari pagi setiap hari Minggu, dan mereka memang sudah janjian bertemu di Alun-alun.

"Nak Puspa, Nak Riri, di suruh bantu Ibu di belakang." Bik Minah datang ketika Puspa masih menatap Utari penuh selidik.

Puspa Ayu juga sepertinya rajin menyambangi rumah Bagus Pandhita meski di hari Minggu. Utari sangat yakin, jika Puspa Ayu belum memiliki kekasih. Puspa Ayu juga berpenampilan tidak seperti biasa. Wanita itu mengenakan tunik tiga perempat bermotif sulaman bunga berwarna biru cerah yang dipadu dengan celana jeans berwarna senada. Sementara rambut sebahunya diikat ekor kuda.

Puspa Ayu tampak lebih muda dan segar, terlebih dengan polesan riasan sederhana yang menghias wajah cantiknya. Dia terlihat sebagai wanita dewasa yang anggun dan memang cocok untuk Bagus Pandhita.

"Iya, Bi. Kita ke sana," sahut Puspa cepat. Dia kemudian menyuruh Utari mengikutinya, sementara ekor mata gadis itu mengawasi Windri sejenak. Tatapan mata wanita itu tidak pernah lepas dari sosok Bagus Pandhita yang duduk di depannya. Bahkan lagu Asmarandana yang mengalun di udara, seakan ditujukan hanya kepada pria itu.

Tiba-tiba ada rasa enggan menyeruak di dada Utari, menyaksikan interaksi keduanya. Dia ingin tetap di sana, memegang salah satu alat. Dia ingin berada di sisi pria itu, agar Bagus Pandhita selalu dalam pengawasan matanya.

"Bu Puspa, apa boleh saya tetap di sini?"

Puspa Ayu yang sudah hendak melangkah, langsung berhenti begitu saja, "Kenapa? Tidak sopan mengabaikan panggilan Ibu!"

"I---iya, Bu." Utari tidak dapat lagi mengelak. Akhirnya mereka berjalan beriringan menuju ke dalam rumah. Setelah berada di dapur, ternyata Naira sedang sibuk menata aneka jajan pasar di atas piring dibantu beberapa orang.

"Waah, akhirnya kalian datang. Tolong bantu Ibu menyiapkan camilan untuk mereka, ya. Nanti cah ayu juga harus belajar memainkan salah satu gamelan itu." Naira berceloteh riang, tanpa mengetahui jika Puspa Ayu langsung menatap Utari dengan sorot tidak suka.

"Iya, Bu." sahut Utari cepat. Dia yakin ibu Bagus melupakan kesepakatan mereka. Utari berdoa dalam hati, semoga Puspa Ayu tidak curiga. Sebutan 'cah ayu' kepada dirinya sudah menandakan satu hal, bahwa ini bukan kali pertama dia menginjakkan kaki di rumah ini.

"Nak Puspa, Ibu dengar Nak Windri mau diambil Ki Mantep sebagai salah satu waranggana tetap, ya." Naira menyodorkan sepiring nagasari untuk diletakkan Utari di atas nampan.

"Saya dengar memang begitu."

"Beruntung sekali ya, dia. Pasti kita akan merindukan mendengarkan suaranya. Ibu sudah terbiasa mendengar suara merdunya seperti sekarang ini. Apa Mas Bagus sudah mencari pengganti Windri?"

"Sepertinya belum, Bu. Akhir-akhir ini jadwal Bapak, kan padat merayap."

"Kapan anak itu memikirkan dirinya sendiri? Ibu sudah tidak sabar melihatnya menikah dan memberi Ibu seorang cucu yang lucu." Naira melirik pada Utari yang berpura-pura menyibukkan diri dengan memperbaiki letak nampan, yang sesungguhnya sudah benar.

"Saya juga berharap secepatnya, Bu. Kasihan Bapak ke mana-mana hanya ditemani saya," ujar Puspa lirih, seperti ingin memamerkan kedekatannya dengan Bagus Pandhita kepada Utari.

"Doakan sebentar lagi ya, Nak Puspa." senyum Naira bijak. Sebagai seorang wanita yang sudah makan banyak asam garam kehidupan, Naira sangat mengetahui perasaan Puspa kepada sang anak.

Puspa Ayu dahulu adalah kandidat terkuat sebagai calon istri Bagus Pandhita. Selain Windri Asih tentunya. Bagus Pandhita adalah magnet yang dapat menarik wanita manapun. Naira tidak mengetahui perasaan Bagus yang sesungguhnya, karena anak itu selalu dekat dengan siapapun.

Kebaikan hati, keramahan, dan sikap tidak membedakan selalu membuat banyak wanita salah sangka dengan sikap pria itu. Dahulu sewaktu masih bekerja sebagai staf ahli di Departemen Dalam Negeri, Bagus Pandhita adalah idola.

Beberapa kali, Bagus Pandhita memiliki teman dekat wanita. Mereka sering menyambangi kediaman mereka di Pondok Indah. Namun hubungan itupun berakhir begitu saja. Bagus Pandhita mungkin mudah membuka hati untuk siapapun, namun belum ada yang benar-benar menguasai hatinya.

Puspa Ayu pasti akan sakit hati. Naira ikut merasa bersalah akan kenyataan pahit, yang pasti akan diterima gadis itu. Selama ini, Puspa Ayu sudah dianggap seperti putri sendiri oleh Naira. Hubungan itu pasti takkan sama lagi, ketika Bagus Pandhita sudah memiliki pendamping.

"Kalian boleh mulai bawa semua makanan ini keluar." perintah Naira kepada Puspa dan Utari.

"Iya, Bu. Ayo, Ri! Kamu bawa poci berisi air sirup dingin itu dulu."

Utari mengangguk, namun dia masih belum beranjak meski Puspa Ayu sudah keluar dari dapur. Dia mengawasi sejenak, sebelum mendekati Naira yang sedang mencuci tangan.

"Ada apa, Nduk?" tanya Naira ketika Utari menjejeri wanita itu.

"Boleh saya bertanya sesuatu, Bu?" Utari merasa ragu dengan beban yang mengganjal di dadanya itu.

"Mau tanya tentang apa?"

"Ini tentang Mbak Windri. Apakah---apakah dia memiliki hubungan istimewa dengan Bapak?"

Naira menatap sejenak gadis ayu di sampingnya. Hatinya mulai dipenuhi harapan, jika pernikahan Bagus dan Utari nanti dapat terhias dengan bunga cinta yang bermekaran. Meski tidak menyadari, tapi bagi Naira, sikap Utari sudah menunjukkan jika gadis itu mulai ada perhatian kepada anaknya.

"Loh, Riri? Kok, kamu masih di sini? Ayo, bantuin saya dong!"

"Iya, Bu. Ini tadi saya bertanya sedikit kepada Ibu, tentang bikin nagasari biar pulen dan lembut."

"Sudah, nanti saya kirim resepnya lewat WA saja, ya. Boleh kan, saya minta nomor telepon Mbak Riri?"

"Iya, Bu. Boleh."

Utari menjauh sebelum radar kecurigaan Puspa Ayu semakin menjadi. Utari membawa nampan besar berisi beberapa piring kacang rebus. Sementara Naira kembali menyibukkan diri dengan memasak hidangan untuk makan siang.

Beberapa pria menyambut kedatangan Utari dengan ceria. Bahkan banyak di antara mereka berebut membawakan nampan yang dibawa oleh gadis itu. Mereka mulai menggoda gadis itu, namun Utari berusaha tidak mempedulikan.

Karena fokusnya kini tertuju kepada sepasang pria dan wanita, yang duduk saling berhadapan agak jauh dari kelompok itu. Latihan karawitan sudah selesai beberapa saat lalu, tapi Bagus dan Windri justru terlihat sedang asyik berdua.

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun