"Saya juga berharap secepatnya, Bu. Kasihan Bapak ke mana-mana hanya ditemani saya," ujar Puspa lirih, seperti ingin memamerkan kedekatannya dengan Bagus Pandhita kepada Utari.
"Doakan sebentar lagi ya, Nak Puspa." senyum Naira bijak. Sebagai seorang wanita yang sudah makan banyak asam garam kehidupan, Naira sangat mengetahui perasaan Puspa kepada sang anak.
Puspa Ayu dahulu adalah kandidat terkuat sebagai calon istri Bagus Pandhita. Selain Windri Asih tentunya. Bagus Pandhita adalah magnet yang dapat menarik wanita manapun. Naira tidak mengetahui perasaan Bagus yang sesungguhnya, karena anak itu selalu dekat dengan siapapun.
Kebaikan hati, keramahan, dan sikap tidak membedakan selalu membuat banyak wanita salah sangka dengan sikap pria itu. Dahulu sewaktu masih bekerja sebagai staf ahli di Departemen Dalam Negeri, Bagus Pandhita adalah idola.
Beberapa kali, Bagus Pandhita memiliki teman dekat wanita. Mereka sering menyambangi kediaman mereka di Pondok Indah. Namun hubungan itupun berakhir begitu saja. Bagus Pandhita mungkin mudah membuka hati untuk siapapun, namun belum ada yang benar-benar menguasai hatinya.
Puspa Ayu pasti akan sakit hati. Naira ikut merasa bersalah akan kenyataan pahit, yang pasti akan diterima gadis itu. Selama ini, Puspa Ayu sudah dianggap seperti putri sendiri oleh Naira. Hubungan itu pasti takkan sama lagi, ketika Bagus Pandhita sudah memiliki pendamping.
"Kalian boleh mulai bawa semua makanan ini keluar." perintah Naira kepada Puspa dan Utari.
"Iya, Bu. Ayo, Ri! Kamu bawa poci berisi air sirup dingin itu dulu."
Utari mengangguk, namun dia masih belum beranjak meski Puspa Ayu sudah keluar dari dapur. Dia mengawasi sejenak, sebelum mendekati Naira yang sedang mencuci tangan.
"Ada apa, Nduk?" tanya Naira ketika Utari menjejeri wanita itu.
"Boleh saya bertanya sesuatu, Bu?" Utari merasa ragu dengan beban yang mengganjal di dadanya itu.