Mohon tunggu...
Maya Batari
Maya Batari Mohon Tunggu... Guru - Single Cool

mencintai diri sendiri dimulai dari dalam hati yang selalu berpikir positif dan bahagia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rahasia Cinta Sang Pewaris #Bab 9

8 April 2021   05:42 Diperbarui: 8 April 2021   05:43 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mbak Riri mau pilih yang mana ini?" Bagus Pandhita berdiri di samping Utari dengan piring kosong di tangan, "bisa tolong saya ambilin makanannya?"

"Oh! Iya, Pak." Sahut Utari yang kemudian meletakkan piringnya sendiri dan menerima piring yang disodorkan pria itu.

Bagus Pandhita menyebutkan makanan apa saja yang diinginkan, sementara Utari mengambil. Beberapa pegawai lain juga tampak sibuk memilih berbagai makanan tradisional yang sudah disediakan. Ada di antara mereka yang melirik dengan penasaran. Utari berusaha tidak ambil pusing, toh Bagus Pandhita memang dikenal sebagai orang yang bisa dekat dengan siapa saja.

"Sudah?" Utari menyodorkan piring yang sudah terisi penuh pada pria itu.

"Anterin dong ke meja saya." Bagus Pandhita tersenyum sambil melenggang pergi, meninggalkan Utari yang ingin sekali menendang punggung kokoh pria itu.

Setelah menarik napas, Utari membawa piring itu ke meja Bagus. Setelah mengangguk sopan pada jajaran Muspida yang ikut, Utari meletakkan piring Bagus Pandhita dengan hati-hati.

Setelah mengucapkan terima kasih, Bagus kembali sibuk berbincang dengan yang lain. Utari melenggang pergi untuk mengisi piringnya sendiri. Kali ini dia memilih nasi jagung dan urap sayur, serta pepes ikan tongkol yang terlihat menggiurkan.

"Lama banget sih!" ujar Mayang yang sudah menghabiskan separuh makanan di piringnya.

"Iya, Pak Bagus tadi minta dilayani dulu." kata Utari tidak peduli.

"Dilayani? Maksudmu, Pak Bagus memintamu untuk mengambilkan makanan?"

"Iya, apalagi?"

Mayang memperhatikan sahabatnya dengan seksama, seakan di wajah Utari ada tahi lalat sebesar gajah, "Ini aneh. Tidak biasanya Pak Bagus bersikap manja seperti itu."

"Honorer baru sepertiku memangnya siapa yang tidak usil untuk mengganggu?" Utari menahan rasa kesal di hatinya.

"Iya, juga. Termasuk foto panen raya dengan beliau? Itu kesempatan langka Ri, dan aku tidak keberatan jika Ibu Bupatinya itu kamu."

"Ngayal terus!"

Tanpa dapat dicegah, sepasang mata bening Utari singgah di meja Bagus. Dia tidak mengira, jika posisi duduk pria itu menghadap langsung kepadanya. Seperti ada benang yang menghubungkan mereka, pria itu juga terlihat tengah menatap kepadanya. Bagus memang terlihat sibuk berbincang dengan Kepala desa dan lainnya, namun beberapa kali matanya mengawasi Utari.

Bagus Pandhita tersenyum bukan karena kelakar yang terlontar di sekitarnya, tetapi lebih pada rasa gemas melihat ekspresi wajah Utari yang berubah-ubah. Terkadang wajah jelita itu terlihat cemberut, hingga bibir tipisnya mengerucut lucu. Terkadang juga wajah Utari terlihat sangat senang, hingga senyum lebar yang menampilkan deretan gigi putihnya yang rata tercetak demikian mempesona.

Bagus menyukai gadis itu yang apa adanya. Termasuk sifat pembangkangnya yang tidak mau memakai cincin pemberian darinya. Meski pertamanya Bagus tidak berminat mendekati Utari, namun dia harus mengikat gadis itu. Utari yang tersesat di taman miliknya, bukan gadis lain.

Setelah suasana makan siang yang akrab, akhirnya rombongan Bagus Pandhita kembali ke kota. Pria itu masih melihat, ketika beberapa pemuda aktifis desa meminta berfoto dengan Utari. Gadis itu melayaninya dengan sopan, hingga membuat darah Bagus Pandhita seperti mendidih.

Andai dapat dilakukan, dia ingin sekali menyeret tangan gadis itu dan memasukkan ke dalam mobilnya sendiri. Melihat Utari dapat begitu akrab dengan orang lain, membuat hatinya sedikit iri. Hingga keinginan untuk memiliki gadis itu, semakin besar saja.

"Kamu tidak lupa acara nanti malam, kan?" tegur Rika begitu Utari menginjakkan area dapur. Dia baru saja tiba di rumah, bahkan belum sempat berganti pakaian.

"Acara apa, Ma?" Utari mengambil sebotol air dingin dari dalam lemari pendingin. Dia kemudian mengambil sebuah gelas, dan duduk di meja makan.

Rika yang masih sibuk memanggang roti tampak melirik sebal ke anaknya, "Malam ini pertunangan Dian! Dia baru semester tiga loh, tapi sudah mau berkomitmen dengan pacarnya!"

Utari meletakkan gelas kosong di atas meja. Dian adalah anak dari adik Mamanya. Hubungan mereka tidak terlalu akrab, karena Utari sejak kecil memang ikut neneknya di Solo.

"Jadi, Mama masih nggak suka kalau aku sendirian gitu?"

"Yah, Mama kan sudah kepengin pamerin calon mantu seperti keluarga yang lain."

"Pamerin aja Kak Dewo, dia juga menantu Mama kan?"

Utari segera beranjak meninggalkan dapur. Masih terdengar omelan Rika yang membuat telinganya merah. Begitu sampai di kamar, gadis itu langsung menghempaskan tubuh di atas kasur. Tanpa terasa, airmata merebak di sudut matanya.

Ketika masih tinggal dengan neneknya, semua terasa begitu bebas. Neneknya tidak pernah melarang Utari bergaul dengan siapapun, asalkan bisa menjaga diri. Neneknya juga tidak mengharuskan dirinya segera memiliki kekasih seperti yang lain. Apalagi harus menikah secepatnya.

Namun Rika justru seperti tidak mengerti kondisi sang putri. Bagi Utari, menikah adalah urusan yang sangat penting. Kita tidak boleh memilih sembarang pria untuk menjadi pendamping. Apalagi dia sangat berharap, jika pernikahannya kelak hanya satu kali untuk selamanya.

Dia sedikit menyesali keputusannya untuk kembali ke kota ini. Apalagi pekerjaannya sekarang juga belum menjamin masa depan. Pekerjaan yang dilakoninya sekarang, juga karena campur tangan dari sang Mama. Rika tidak mengizinkan Utari mencari pekerjaan sendiri. Katanya meski gaji sedikit, yang penting Utari dapat pulang setiap hari.

Namun Utari juga tidak mau disebut sebagai anak durhaka. Apapun akan dilakukan, agar sang Mama bahagia. Selama ini Rika bekerja membanting tulang sendiri, untuk biaya sekolah kedua anaknya. Karena ayah Utari sudah lama meninggal dunia. Rika memiliki sebuah toko kue yang cukup laris, untuk menopang kehidupan mereka.

Gadis itu meraih kotak kecil berisi cincin pemberian Bagus Pandhita, dari dalam tas kerja. Dia mulai memikirkan kemungkinan hubungan mereka. Meski tidak ada cinta, namun sepertinya pria itu serius dengan niat mengikat dirinya. Usia tidak akan menjadi penghalang, jika itu dapat membuat mulut Mamanya diam.

Lagipula dia tidak sedang terikat dengan siapapun. Choky sudah memiliki kekasih, dan hubungan mereka mungkin juga akan berakhir di pelaminan. Bagus Pandhita juga bukan pilihan buruk. Pria itu masih tampan, meski sudah berusia akhir tiga puluhan.

"Tuhaan, apa yang harus aku lakukan?" gumam Utari sambil menatap langit-langit kamarnya. Dia meraih ponsel di atas nakas, ketika benda itu berbunyi nyaring tanda ada panggilan masuk. Dahinya berkerut ketika menemukan nomor asing yang menunggu untuk diterima.

"Assalamu'alaikum." sapa Utari ketika akhirnya memutuskan mengangkat panggilan itu.

"Wa'alaikumussalam. Sudah sampai di rumah dengan selamat bukan?" tanya sebuah suara berat seorang pria di seberang sana. Suara yang seperti tidak asing di telinga Utari.

"Alhamdulillah. Maaf, tapi ini siapa, ya?"

"Kamu memang lupa, atau sekedar pura-pura lupa?"

"Maaf?"

Pria itu terdengar tertawa renyah, tawa yang langsung membuat jantung Utari berpacu lebih kencang. Dia menjauhkan ponselnya sejenak dan mengamati nomor yang tertera di sana. Tangannya mulai gemetar begitu menyadari sesuatu. Pria itu pasti menggunakan nomor pribadi untuk menghubunginya, nomor yang bahkan sang sekretaris saja tidak mengetahuinya.

"Mau sampai kapan cincin itu akan kamu simpan?"

"Pak---Pak Bagus?"

Bersambung....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun