"Alhamdulillah." Utari akhirnya berpamitan setelah rombongan Bagus Pandhita mulai berjalan menuju sawah yang dimaksud.
"Penggemar kamu sepertinya sekarang tambah banyak, Ri." Mayang berbisik ketika beberapa pemuda desa mulai mengambil foto Utari.
"Ngomong apaan sih!" Utari bersikap seakan tidak peduli. Padahal dia sebenarnya agak risih, bahkan ketika beberapa dari mereka mulai menempel dan mau berkenalan dengannya.
"Seharusnya yang mendapat pengawalan ketat itu kamu, bukannya Bapak."
"May, kita jalan di tengah Bapak-bapak aja yuk." ajak Utari yang merasa kian tidak nyaman.
Sedikit bergegas, ketika keduanya berhasil mendapat tempat di antara pegawai lain. Utari hampir saja menabrak tubuh Puspa Ayu, yang berjalan tidak jauh di depan. Di sawah, ternyata sudah ada wartawan yang akan meliput kegiatan itu.
Utari dan pegawai lain menunggu di pinggir, ketika Bagus Pandhita melakukan pemotongan padi pertama kali. Kemudian diikuti oleh Kepala Dinas dan Kepala Desa. Beberapa wartawan tampak berbicara serius dengan Bagus Pandhita, sebelum mata mereka tertuju kepada rombongan.
Salah satu wartawan menunjuk ke arah Utari, yang tengah berdiri di pinggir dengan senyum tersungging di bibir. Beberapa orang bergantian minta berfoto dengannya, seakan dia artis saja.
"Mbak Riri, dipanggil Bapak." ucap Puspa Ayu dengan dingin. Kedua matanya menatap Utari dengan tidak suka.
"Saya? Tapi kenapa?" Utari mengerjap dengan bingung.
"Para wartawan menghendaki beberapa lembar foto Bapak sedang panen dengan Ibu. Tapi karena belum adanya pendamping, maka mereka meminta salah satu pegawai mewakili saja. Kamu yang mereka inginkan!" Puspa Ayu seperti tidak senang dengan kenyataan itu.