"Pak Wisnu ini ada-ada saja."
Tawa merekapun meledak memenuhi mobil. Pak Wisnu adalah salah satu atasan yang tidak pernah membedakan pegawai. Sikap ramah dan ngayomi yang digaungkan oleh Bagus Pandhita ternyata memang banyak mempengaruhi pegawainya.
Hampir tiga puluh menit, ketika perjalanan mereka akhirnya tiba di desa yang dituju. Berbagai spanduk sudah terpasang di mulut desa. Sementara warga berjejer di kanan dan kiri jalan, menyambut iring-iringan itu.
Rombongan di sambut dengan tarian selamat datang di Balai Desa. Setelah beramah tamah sejenak dengan warga, Bagus Pandhita kemudian menyampaikan pidato singkat, yang disambut hangat oleh seluruh warga.
"Mbak cantik, silahkan memakai caping ini." salah satu ibu memberikan sebuah caping lebar kepada Utari.
"Terima kasih, Bu." Utari menerima dengan senang hati.
"Minta doanya ya, Mbak. Semoga anak saya kalau lahir bisa secantik, Mbak." senyum ibu itu sambil mengelus perutnya yang membuncit.
Utari menatap perut si ibu, kemudian ikut mengusapnya, "Amin, Bu. Sudah berapa bulan, Bu?"
"Ini sudah masuk bulan ke tujuh. Ngomong-ngomong, Mbak cantik ini namanya siapa?"
Utari tertawa kccil mendengar sebutan itu, sementara Mayang yang berada di sampingnya hanya memperhatikan, "Nama saya Utari Paramita, Bu."
"Pantes. Namanya secantik yang punya." imbuh ibu muda itu.