Utari dan Mayang bergegas menyambar tas kerja mereka, dan langsung mengikuti Pak Wisnu. Ketika mereka datang, staf bagian informasi sedang memberikan instruksi jadwal acara hari itu. Sementara Bagus Pandhita tampak sedang sibuk berbicara dengan kepala Dinas Pertanian.
"Ngelamun lagi?" tanya Mayang ketika mobil yang mereka tumpangi sudah melaju di jalanan.
Utari masih menatap keluar jendela, menyaksikan pemandangan perkotaan berganti dengan suasana hijau pedesaan, "Tidak menyangka saja, bisa ikutan acara seperti ini."
"Aku sudah beberapa kali ikut. Acara biasanya sangat meriah. Aku suka suguhannya, makanan tradisional yang tidak akan kamu temukan di manapun."
"Itu pasti menyenangkan."
"Kecuali bagian berpanas ria di sawah."
"Memangnya Mbak Riri belum pernah diajak ke acara seperti ini?" Pak Wisnu ikut menimpali.
"Belum pernah, Pak. Maklum, saya kan baru enam bulan jadi honorer di sini."
"Lah, bulan kemarin pas acara ruwat bumi di desa Cempedak memang tidak ikut?"
"Tidak, Pak. Saat itu saya sedang sibuk membantu Pak Cipto menyusun laporan bulanan."
"Ya, sudah. Nanti pinjem caping saja sama petani. Kasihan kulit Mbak Riri yang putih, nanti gosong."