Senin yang menyebalkan.
Setidaknya itu yang dialami oleh Utari, ketika dia disibukkan dengan mengantarkan berbagai dokumen ke seluruh kepala bagian. Kegiatan itu sebenarnya sangat menyenangkan, karena dia dapat pergi ke seluruh bagian dan bertegur sapa dengan siapapun. Namun yang membuat perasaannya turun drastis adalah, sikap Bagus Pandhita yang tidak mau menatapnya.
Sejak apel pagi, ketika semua pegawai berjabat tangan dengan pria itu. Bagus tidak mau melihat Utari, seperti dia adalah makhluk astral. Bagus menjabat tangan Utari singkat, tanpa harus memasang senyum penuh semangat seperti biasa.
Sejak kapan hal itu menjadi penting?
Utari sendiri tidak mengerti. Namun menjadi satu-satunya orang yang tidak diperhatikan, itu sangat tidak menyenangkan. Utari berdoa dalam hati, semoga orang lain tidak mengetahui perubahan itu.
"Ada apa? Kenapa ramai sekali?" tanya Utari ketika melihat beberapa pegawai sibuk memakai jaket dan menyandang tas.
Mayang terlihat sibuk menata map di meja, "Bapak mau menghadiri acara panen raya di salah satu Kecamatan. Beberapa pegawai diharapkan menyertai, tapi tentu saja tidak termasuk kita."
"Oh, begitu." Utari duduk di kursi dengan setengah melamun, "apa kita bisa izin pulang lebih awal?"
"Riri! Mayang! Kalian ikut ke lapangan!" Pak Wisnu, sang kepala bagian berteriak dari pintu masuk.
"Kita ikut, Pak?" tanya Mayang tidak percaya.
"Iya, kalian ikut! Cepatlah bersiap, nanti kalian ikut mobil saya saja."