Tanpa pikir panjang, Utari segera melepaskan cincin itu dan menyimpan di saku celana. Dia tidak senang dengan perlakuan romantis pria itu. Dia justru merasa kesal karena Bagus Pandhita sudah seenak sendiri mengikatnya begitu rupa.
Meski merasa sebal setengah mati kepada pria itu, Utari justru merasa langkah kakinya terasa demikian ringan. Senyum bahkan masih menghias bibirnya, ketika dia bergabung kembali dengan rombongan.
"Kok, kamu tampak aneh sih!"
"Aneh apaan? Perasaan kamu aja kali, May!"
"Semoga saja kamu tidak kesambet setan air terjun ya."
"Hush! Sembarangan!"
Utari memasang wajah cemberut ketika Mayang mulai menggodanya kembali. Dia masih terlalu shock, dan dia belum siap berbagi dengan siapapun. Utari bahkan takut dengan masa depannya. Meski dia yakin Bagus Pandhita akan memperlakukan dirinya sama dengan pegawai lain, namun sampai kapan pria itu bertahan?
Ladang bunga itu ternyata justru membawa bencana baginya. Keindahan di sana sudah menipu, dan Utari tidak mengerti mengapa dirinya yang dipilih oleh takdir untuk pria itu. Perbedaan usia mereka terlalu lebar, meski orangtuanya pasti tidak keberatan memiliki menantu seperti Bagus Pandhita.
Gadis itu meringis, karena belum apa-apa sudah memikirkan mengenai pernikahan dengan pria itu. Belum tentu ikatan itu akan bertahan, karena Utari menyadari jika dirinya bukan kandidat kuat.
Untuk pertama kali dalam hidup, Utari menyesali apa yang sudah terjadi kepadanya. Jantungnya berdebar kencang untuk pria itu. Namun di sisi lain, dia takut akan masa depan yang belum jelas itu.
Dia bukan siapa-siapa. Dia juga tidak mengetahui latar belakang kehidupan pria itu. Akan banyak halangan ketika Bagus ingin menjatuhkan pilihan kepadanya. Perlahan, tangan Utari meraba cincin kecil yang tersimpan aman di saku celana.