Beberapa orang tampak sudah bersiap meninggalkan tempat itu. Bagus Pandhita tampak mengintruksikan kepada beberapa pengawas keamanan untuk tetap tinggal. Rombongan Pak Joyo sudah melambaikan tangan, menyuruh mereka segera bergabung.
"Ri, jam tanganku kayaknya ketinggalan di batu besar tadi deh!" Mayang terlihat panik, dia baru mengambil beberapa gambar dari rombongan itu. Katanya untuk sekedar kenang-kenangan. Bahkan mereka juga saling bertukar nomor ponsel.
"Kamu teledor banget, sih! Biar aku saja yang ngambil!" ujar Utari yang melihat Mayang masih sibuk dengan ponselnya.
"Ya, sudah! Nanti kita tunggu di atas saja, ya."
"Iya, bawel!"
"Hati-hati Mbak Riri!"
"Iya, Pak Broto."
Utari setengah tergesa menuruni anak tangga agak licin, menuju batu besar tempat mereka beristirahat tadi. Suasana di bawah sudah sepi, hanya beberapa pengunjung biasa yang masih terlihat. Hati Utari lega ketika menemukan jam lumayan mahal itu masih tergeletak di sela bebatuan. Utari tahu, itu adalah jam pemberian suami Mayang sebagai hantaran pernikahan.
Utari sudah mau berbalik, ketika bayangan seseorang mengganggunya. Karena arus air yang cukup deras, maka bayangan itu agak tidak jelas. Gadis itu mendongak dan terkejut setengah mati menemukan sosok Bagus Pandhita tidak jauh darinya.
"Anda? Ke---kenapa anda masih di sini?" tanya Utari dengan gugup. Kedua tangannya gemetar tidak terkendali, namun dia berusaha menyembunyikannya.
Bagus Pandhita melompati beberapa batu, sebelum tiba di samping Utari. Gadis itu mundur dengan gugup, ketika jarak di antara mereka terlalu dekat. Tanpa pikir panjang, Utari segera berbalik hendak melarikan diri.