"Sepertinya nenek sihir tidak berhasil mengerjai kita." Mayang menatap sinis pada sosok Puspa Ayu yang terus saja menempel pada Bagus Pandhita.
Utari melirik dua lembar uang kertas pecahan seratus ribu di tangannya. Tim mereka menjadi yang tercepat kedua. Hadiah uang tunai sudah dibagikan merata untuk semua orang.
Mereka kini duduk di atas batu besar, sambil menikmati cipratan air terjun yang terbawa angin ke tubuh mereka. Utari meraih botol air mineral, lalu membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Satu paket nasi ayam sudah ludes di perut mereka. Sebelum kembali ke perkemahan, mereka hanya tinggal menunggu satu tim yang belum sampai di sana.
Utari bergeser kian mendekat ke air. Dia kemudian melepaskan sepatu dan kaos kaki yang dipakai. Lalu merendam sepasang kaki putihnya di dalam air.
"Ini enaaak sekali." gadis itu merasa otot-otot kakinya mulai merileks setelah perjalanan panjang tadi. Mayang mengikuti di sampingnya, dan bergumam tidak jelas sambil memejamkan mata. Banyak orang juga melakukan hal yang sama seperti mereka. Bahkan banyak yang mengambil foto dengan latar belakang air terjun.
"Menurutmu apa ada kemungkinan Pak Bagus bisa bersanding dengan nenek lampir itu?" tanya Mayang dengan mata masih mengawasi keberadaan dua orang itu di seberang sana.
"Jika Bu Puspa diperistri oleh Pak Bagus, maka kita harus berdoa semoga penggantinya lebih pengertian dari dia."
"Aku tidak setuju memiliki Ibu Bupati seperti dia! Apa kamu tidak melihat sorot matanya tiap kali melihat kita? Sepertinya dia ingin sekali melumat kita menjadi bubur sumsum!"
"Tidak perlu berlebihan!"
Namun tetap saja Utari penasaran, hingga diapun mencuri pandang ke arah mereka. Jantungnya langsung mencelos, ketika matanya bersirobok dengan mata Bagus Pandhita yang nampak juga tengah mengawasi keberadaan Utari. Gadis itu langsung melengos, dan berusaha kelihatan sedang sibuk berbicara dengan Mayang.
Setelah cukup lama merendam kaki, Utari dan Mayang segera beranjak ke tepian. Beberapa kali, Mayang mengambil foto mereka berdua dengan ponsel Mayang. Karena baru disadari, ternyata Utari tidak membawa benda itu.
Beberapa orang tampak sudah bersiap meninggalkan tempat itu. Bagus Pandhita tampak mengintruksikan kepada beberapa pengawas keamanan untuk tetap tinggal. Rombongan Pak Joyo sudah melambaikan tangan, menyuruh mereka segera bergabung.
"Ri, jam tanganku kayaknya ketinggalan di batu besar tadi deh!" Mayang terlihat panik, dia baru mengambil beberapa gambar dari rombongan itu. Katanya untuk sekedar kenang-kenangan. Bahkan mereka juga saling bertukar nomor ponsel.
"Kamu teledor banget, sih! Biar aku saja yang ngambil!" ujar Utari yang melihat Mayang masih sibuk dengan ponselnya.
"Ya, sudah! Nanti kita tunggu di atas saja, ya."
"Iya, bawel!"
"Hati-hati Mbak Riri!"
"Iya, Pak Broto."
Utari setengah tergesa menuruni anak tangga agak licin, menuju batu besar tempat mereka beristirahat tadi. Suasana di bawah sudah sepi, hanya beberapa pengunjung biasa yang masih terlihat. Hati Utari lega ketika menemukan jam lumayan mahal itu masih tergeletak di sela bebatuan. Utari tahu, itu adalah jam pemberian suami Mayang sebagai hantaran pernikahan.
Utari sudah mau berbalik, ketika bayangan seseorang mengganggunya. Karena arus air yang cukup deras, maka bayangan itu agak tidak jelas. Gadis itu mendongak dan terkejut setengah mati menemukan sosok Bagus Pandhita tidak jauh darinya.
"Anda? Ke---kenapa anda masih di sini?" tanya Utari dengan gugup. Kedua tangannya gemetar tidak terkendali, namun dia berusaha menyembunyikannya.
Bagus Pandhita melompati beberapa batu, sebelum tiba di samping Utari. Gadis itu mundur dengan gugup, ketika jarak di antara mereka terlalu dekat. Tanpa pikir panjang, Utari segera berbalik hendak melarikan diri.
Namun pegangan erat di pergelangan tangannya membuat Utari tidak berkutik. Gadis itu menggigit bibir bawahnya dengan gelisah, sementara pria itu perlahan berjalan ke sampingnya.
"Jadi, kamu sudah mendengar mengenai rumor itu?" suara lembut pria itu menyapa gendang telinga Utari.
Telapak tangan pria itu terasa hangat menyelubungi, erat namun tidak menyakiti. Utari hanya terpaku di tempat, sama sekali tidak berani menggerakkan satupun dari anggota tubuhnya.
"Ru---rumor? Saya sungguh tidak tahu, apa yang anda maksud." Utari berusaha tidak menatap pria itu. Dia memalingkan muka, berusaha meyakinkan diri jika semua hanya mimpi.
"Tapi kamu sudah melihat taman itu. Kamu sudah tahu apa arti dari semua itu bukan?"
Utari ingin menggeleng, namun seluruh persendiannya terasa kaku. Bahkan dia sudah seperti akan mati, ketika tangan besar Bagus Pandhita meraih jemari tangannya. Pria itu mengecup satu persatu ruas jemari tangannya yang gemetar dengan lembut dan penuh perasaan.
"Mulai saat ini, kamu adalah milikku. Utari Paramita, aku akan pastikan jika kamu akan menjadi istriku."
Utari merasa seperti tersambar petir di siang bolong. Dia tidak mampu melakukan apapun, bahkan ketika Bagus Pandhita perlahan semakin menjauh. Gadis itu seperti orang linglung.
Utari menjatuhkan tubuhnya yang seperti tak bertenaga, di atas batu. Jantungnya masih berdebar dengan sangat liar, sementara seluruh tubuhnya terasa lemas bagai tak berotot. Dengan nanar, dia menatap pada jemari tangannya yang tadi dipegang dan dikecup oleh Bagus.
Hangat bibir pria itu masih terasa hingga ke tulang sumsum. Getarannya serasa akan memporak porandakan seluruh akal sehatnya. Mata Utari kian melotot ketika menemukan sebuah cincin platina polos sudah melingkar di jari manisnya.
Dia kemudian berlari menuju arah di mana pria itu menghilang. Mata Utari masih mencari-cari, ketika akhirnya menemukan sosok Bagus Pandhita yang sudah diundakan naik. Pria itu seolah tahu keberadaan Utari, karena gadis itu dapat melihat pria itu melambai ke arahnya dengan senyum lebar tersungging di bibir.
Tanpa pikir panjang, Utari segera melepaskan cincin itu dan menyimpan di saku celana. Dia tidak senang dengan perlakuan romantis pria itu. Dia justru merasa kesal karena Bagus Pandhita sudah seenak sendiri mengikatnya begitu rupa.
Meski merasa sebal setengah mati kepada pria itu, Utari justru merasa langkah kakinya terasa demikian ringan. Senyum bahkan masih menghias bibirnya, ketika dia bergabung kembali dengan rombongan.
"Kok, kamu tampak aneh sih!"
"Aneh apaan? Perasaan kamu aja kali, May!"
"Semoga saja kamu tidak kesambet setan air terjun ya."
"Hush! Sembarangan!"
Utari memasang wajah cemberut ketika Mayang mulai menggodanya kembali. Dia masih terlalu shock, dan dia belum siap berbagi dengan siapapun. Utari bahkan takut dengan masa depannya. Meski dia yakin Bagus Pandhita akan memperlakukan dirinya sama dengan pegawai lain, namun sampai kapan pria itu bertahan?
Ladang bunga itu ternyata justru membawa bencana baginya. Keindahan di sana sudah menipu, dan Utari tidak mengerti mengapa dirinya yang dipilih oleh takdir untuk pria itu. Perbedaan usia mereka terlalu lebar, meski orangtuanya pasti tidak keberatan memiliki menantu seperti Bagus Pandhita.
Gadis itu meringis, karena belum apa-apa sudah memikirkan mengenai pernikahan dengan pria itu. Belum tentu ikatan itu akan bertahan, karena Utari menyadari jika dirinya bukan kandidat kuat.
Untuk pertama kali dalam hidup, Utari menyesali apa yang sudah terjadi kepadanya. Jantungnya berdebar kencang untuk pria itu. Namun di sisi lain, dia takut akan masa depan yang belum jelas itu.
Dia bukan siapa-siapa. Dia juga tidak mengetahui latar belakang kehidupan pria itu. Akan banyak halangan ketika Bagus ingin menjatuhkan pilihan kepadanya. Perlahan, tangan Utari meraba cincin kecil yang tersimpan aman di saku celana.
Ada rasa hangat menyelimuti hatinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H