Bagus sejenak tampak terpesona melihat penampilan segar Utari. Gadis itu muncul tepat ketika dia baru selesai mengisi dua gelas dengan air putih. Setelah mandi, Bagus memng langsung mengantar Utari ke salah satu kamar dari dua kamar di dalam pondok itu.
Sekarang gadis itu muncul dengan memakai kaos pendek putih bergambar tugu Jogja, yang dipadu dengan celana jeans pendek selutut. Rambut panjang sepinggang yang masih basah, diurai begitu saja dengan hiasan sebuah bandana. Wajah Utari yang memang sudah menawan, tidak tampak terpoles alat rias apapun.
Tubuh mungil gadis itu juga terlihat pas, dengan lekukan yang sedap dipandang mata. Bagus Pandhita berdehem untuk menetralisir perasaannya. Dia merutuk dalam hati, karena merasa demikian hina. Dia pria dewasa berusia akhir tigapuluhan, dan lihat apa yang akan terjadi kepadanya.
Gadis belia yang sedang mekar itu, suatu saat harus dipersuntingnya. Perbedaan usia mereka begitu mencolok. Dia akan dianggap sebagai pria tua yang doyan daun muda. Namun jika dia tidak melakukannya, maka kehormatan gadis itu akan terancam. Sementara dirinya juga sedang berburu pasangan. Tidak lucu ketika hampir setahun menjabat sebagai orang nomor satu, namun masih belum memiliki pendamping.
Lalu semua orang akan kembali bertanya-tanya, ketika tahun ini dia belum juga menemukan pendamping hidup. Usianya sudah mendekati 40 tahun, tidak mungkin akan lebih dari itu. Di dalam keluarga Rekshananta, hanya dia seorang yang demikian terlambat jodohnya. Jadi, Bagus merasa tidak mungkin lagi melepaskan satu-satunya kesempatan yang datang menghampiri.
"Ini semua Pak Bagus yang memasak?" Utari menatap semua makanan yang terhidang di meja dengan tatapan takjub. Kali ini mereka makan di ruang tengah, masih dalam posisi lesehan.
"Kecuali kalau kamu mempercayai aku memiliki jin untuk membantu pekerjaanku." Bagus Pandhita menerima piring yang sudah diisi nasi oleh Utari. Gadis itu terlihat cekatan mengambilkan lauk tempe goreng, dan sayur kangkung ke atas piring Bagus. Tanpa disuruh, Utari melayani pria itu dengan senang hati.
"Saya percaya Pak Bagus yang menyiapkan segalanya. Kapan lagi saya dapat menikmati hidangan spesial buatan tangan Bapak Bupati sendiri. Semoga saja rasanya seenak kelihatannya."
Bagus yang sudah hendak menyuapkan nasi, terlihat berhenti sejenak. Gadis itu bersiap mengabadikan momen, Utari hendak mengambil gambar dengan ponselnya. Tanpa pikir panjang, Bagus segera merebut ponsel itu dari tangan Utari.
"Jangan coba-coba mempublikasikan apapun, yang kamu lihat dan alami di tempat ini! Kamu akan sangat menyesal, jika melakukan hal itu!"
Utari menatap pria itu dengan terkejut. Dia tampak sedikit ketakutan dengan kemarahan yang ditunjukkan Bagus Pandhita. Utari menyadari kesalahannya. Tidak seharusnya dia berbuat kekanakan seperti tadi. Dia sedikit lupa siapa pria yang duduk di depannya. Semua karena kenyamanan yang ditawarkan pria itu kepadanya.
"Saya---saya minta maaf, Pak!" Utari berbicara dengan tergagap.
"Jangan karena saya bersikap baik kepadamu, maka kamu melupakan posisi kamu!" ucap Bagus tajam.
"I---iya, Pak. Sekali lagi maafkan sikap kekanakan saya."
Utari menundukkan kepala, tanpa berani memandang mata Bagus Pandhita yang kelihatannya masih berlumur kemarahan. Hati Utari mencelos menahan sakit tak terperi. Rasa lapar yang tadi mendera, kini sudah menghilang. Sepertinya begitu juga dengan Bagus.
Bagus tampak duduk sambil menimang ponsel Utari di tangan. Sementara tatapan matanya menghunjam wajah gadis itu yang tertunduk dalam. "Makanlah, ada sesuatu yang harus kukerjakan sekarang."
Utari menatap punggung pria itu, yang pergi begitu saja meninggalkan meja makan. Ponselnya tergeletak tidak berdaya di samping piring Bagus, yang isinya masih utuh tak tersentuh.
"Ya, Tuhan. Apa yang sudah aku lakukan tadi?" airmata mulai membasahi pipi Utari. Dia membekap mulutnya dengan kedua tangan, takut Bagus Pandhita mendengar isakannya.
Tentu saja Bagus Pandhita marah kepadanya. Dia sudah menyinggung privasi pria itu. Jika dia menyebarkan foto makan malam itu, maka sudah dipastikan gosip akan merebak. Bukan hanya Bagus Pandhita yang akan tercoreng namanya, namun dia juga.
Orang akan menggosipkan foto itu. Mereka akan menuduhnya sebagai gadis muda penggoda. Sudah jelas, pria dewasa seperti Bagus Pandhita tidak akan tertarik pada gadis biasa seperti dirinya. Posisinya sebagai pegawai honorer juga akan terancam.
"Kamu memang bodoh, Tari!" isak Utari sambil memukul-mukul kepalanya.
Karena merasa udara yang dihirupnya semakin sesak, gadis itu memutuskan untuk keluar. Dia menuju Gazebo di belakang rumah. Udara malam yang dingin menyambutnya, begitu Utari membuka pintu belakang. Sambil memeluk dirinya, Utari berjalan pelan menuju tempat itu.
Suara kodok bercengkrama menyambut kedatangannya, berpadu dengan suara jangkrik dan hewan malam lain. Suasana di sana tampak remang-remang, karena hanya disinari lampu damar. Utari memeluk tubuhnya sebentar, yang terasa mulai menggigil.
Gadis itu berdiri sambil bertopang dagu. Sementara kegelapan menyelimuti sungai kecil dan pepohonan di seberang sana. Anehnya, dia tidak merasa takut sedikitpun. Dia menyukai suara gemericik air di bawah, dan aroma harum bunga-bunga yang terbawa embusan angin.
Tidak ada yang benar-benar menyukainya. Utari kini baru menyadari kenyataan itu. Sebagai honorer baru, dia termasuk populer di kantor. Ada saja alasan para pegawai senior, terutama yang masih lajang untuk membantu menyelesaikan pekerjaan mereka. Utari juga sering lembur hingga pulang sore, hal itu sudah lumrah sekarang.
Mereka sangat baik hati. Sangat sering dirinya ditraktir makanan enak jika pekerjaan telah selesai. Bahkan sangat sering dia menyadari, jika pulsa ponselnya selalu diisi oleh entah siapa. Hal itu juga yang menimbulkan ketidaksukaan di kalangan para pegawai wanita.
Meski Utari selalu berusaha menjaga jarak dan bersikap wajar kepada siapapun. Nyatanya perhatian yang terlanjur tertumpah kepadanya, sudah kepalang basah diketahui semua orang. Di satu sisi dia merasa nyaman, namun di sisi lain seperti ada pihak yang mengintai dirinya lengah.
Di hutan tadi, dia tidak di posisi paling buncit. Ada serombongan pegawai senior wanita di belakangnya. Utari sangat yakin, dia sudah berpesan kepada Puspa Ayu agar tidak ditinggal. Sekretaris Bupati yang merupakan salah satu penanggung jawab acara itu, jelas-jelas mengiyakan permintaannya.
Nyatanya dia ditinggal begitu saja. Bahkan petunjuk arah yang seharusnya dapat ditemukan, tidak ada di manapun. Utari masih ingat, betapa putus asa dan cemas mendera tubuh lelahnya.
Ini kali pertama dia mengikuti acara seperti itu. Ini juga kali pertama, Utari menginjakkan kaki di hutan Alas Roban. Tubuhnya gemetar ketakutan, manakala tidak juga menemukan jalan setapak. Bayangan binatang buas yang tengah mengintai, merongrongnya. Dia pernah mengikuti perkemahan ketika masih SMA, tapi mereka menggunakan jalur yang biasa dilalui orang umum. Kendaraan yang mengangkut kala itu, dapat langsung parkir di depan
Utari sudah hampir putus asa, ketika pada akhirnya langkah kaki menuntunnya keluar dari hutan lebat itu. Sungguh pemandangan ajaib, ketika dia menemukan sosok sang Bupati di sana. Seperti halusinasi saja. Namun, sekarang dia berdiri di sini.
"Udara malam tidak baik untuk kesehatan. Kenapa masih berdiri di sini? Jika kamu sakit, maka kamu akan semakin menyusahkanku." Utari tidak sempat menolak ketika Bagus Pandhita menyampirkan jaket kulit di pundaknya. Karena terlalu asyik melamun, gadis itu sampai tidak tahu kedatangan pria itu.
"T---terima kasih, Pak."
"Kamu juga harus makan. Tidak baik berangkat tidur, namun perut kamu dalam keadaan kosong." ujar Bagus Pandhita penuh perhatian.
Utari tidak tahu harus menanggapi bagaimana dengan sikap Bagus yang mudah sekali berubah. Tadi dia memasang wajah marah luar biasa, namun sekarang dia menjadi sosok penyayang yang membuat hatinya luluh. Sebenarnya apa mau dari pria ini?
Masih bersambung dooong.....
tayang di wattpad
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H