Mohon tunggu...
Maya Batari
Maya Batari Mohon Tunggu... Guru - Single Cool

mencintai diri sendiri dimulai dari dalam hati yang selalu berpikir positif dan bahagia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rahasia Cinta Sang Pewaris #Bab 2

31 Maret 2021   21:10 Diperbarui: 31 Maret 2021   22:26 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

"Bagaimana Bapak bisa menemukan tempat ini?" Utari menyesap tehnya dengan nikmat. Cuaca sore yang dingin, sangat cocok menikmati secangkir teh hangat. Terlebih suasana di sana sangat sulit untuk dilewatkan. Mereka duduk lesehan dengan beralaskan tikar pandan, di dalam Gazebo itu.

Bagus menatap sejenak pada gadis itu. Selama ini dia berusaha tidak begitu memperhatikan Utari, hanya sesekali mereka bertegur sapa sebagai formalitas. Namun kali ini, dia dapat menikmati keindahan itu dengan lebih leluasa.

Telinganya sering mendengar beberapa pegawai laki-laki berbicara mengenai gadis ini. Anak magang baru yang memiliki kecantikan seperti seorang bidadari. Mereka selalu memiliki berbagai alasan untuk menyuruh Utari mengerjakan sesuatu. Padahal itu hanya akal bulus mereka, untuk lebih sering melihat sang gadis.

"Ini tanah warisan dari kakekku. Secara turun temurun, anak laki-laki dalam keluarga akan mewarisi tempat ini."

"Ehm, pasti tempat ini sangat privasi. Sekali lagi, maafkan saya. Saya sungguh tidak sengaja memasuki area sini." Utari meringis penuh penyesalan. Sebenarnya dia merasa jengah, karena hanya berdua saja dengan pria itu.

Jantung Utari terasa berdegup lebih kencang, ketika pria itu tersenyum kecil di atas cangkir yang disesapnya. Bagus sama sekali tidak marah, padahal mungkin kehadirannya sudah menganggu aktivitas pria itu. Akan lebih baik jika dia diusir dari tempat itu, bukannya diperlakukan dengan begitu baik.

"Mendapat kunjungan dari gadis pujaan para pria lajang sekantor? Aku rasa itu patut disyukuri." Bagus mengerling jail pada Utari yang langsung tertunduk dengan pipi memerah.

"Bapak bikin saya malu aja." jemari lentik Utari memutar-mutar cangkir untuk mengusir rasa gugup yang mulai melanda.

"Jadi siapa yang beruntung mendapatkan hati kamu?" pancing Bagus dengan nada menggoda. Sepertinya dia harus menunda rencana mengantar gadis itu ke perkemahan. Masa cutinya masih satu hari lagi. Ditemani seorang gadis menawan sepertinya juga bukan ide yang buruk. Terlebih dia memang sedikit mengharapkan Utari.

"Itu---saya masih muda, Pak. Saya masih ingin memantapkan karir dulu, baru setelah itu memikirkan untuk berumah tangga."

"Jadi, kamu sedang mengejek saya?"

"Bu---bukan, Pak. Saya---saya sedang membicarakan diri saya sendiri." Utari melambai-lambaikan tangan dengan gelisah.

Angin yang bertiup lembut, menerbangkan beberapa helai anak rambut hingga menutupi kening Utari. Gadis itu tampak semakin salah tingkah, kala sorot tajam mata Bagus seperti menelanjanginya. Walau bagaimanapun, Utari juga seorang wanita. Jantungnya berdegup liar, ketika di dekatnya ada seorang pria lajang tampan mempesona tengah memperhatikannya.

"Kita hanya berdua saja di tempat ini. Lambat laun mereka pasti akan menyadari, jika kamu tidak ada dalam rombongan. Aku yakin, pasukan pemujamu itu sudah khawatir mencarimu. Di sini kita hanya berdua. Aku pria yang belum beristri, dan kamu seorang gadis muda yang belum memiliki pacar."

Bagus sengaja menjeda ucapannya, untuk melihat reaksi Utari. Benar saja, wajah gadis itu mulai terlihat panik. Tatapan mata beningnya, terlihat ngeri dan shock. Bibir mungilnya yang merah tanpa pewarna, terlihat beberapa kali terkatup dan terbuka tanpa suara.

"Kalau begitu, saya harus segera pergi dari sini. Saya tidak mau, keberadaan saya di sini akan menimbulkan fitnah nantinya. Anda bisa mengantar saya hanya sampai di jalan menuju perkemahan, setelah itu saya akan ke sana sendiri. Saya bisa mencari alasan mengapa datang terlambat."

Bagus Pandhita mencondongkan tubuh di atas meja kecil, hingga jarak wajah mereka hanya tinggal beberapa inci. Utari menahan napas, ketika sepasang manik tajam itu menguncinya. Dia mengumpat dalam hati, karena harus terjebak dalam situasi seperti ini.

"Sebentar lagi senja, dan jarak tempat ini dengan perkemahan lumayan jauh. Aku tidak mau menanggung resiko bertemu binatang buas, dan membahayakan nyawa kita berdua. Jadi, dengan terpaksa kamu harus bermalam di sini."

Kengerian semakin tampak di mata gadis itu. Bagus tertawa geli dalam hati, melihat ketakutan polos pada wajah Utari. Gadis itu terlihat tidak senang sedikitpun, mengetahui fakta bahwa dia hanya berduaan dengan atasannya.

Semua wanita pasti mengharapkan peristiwa langka ini. Dapat menghabiskan waktu semalaman hanya berdua dengan Bupati lajang paling diminati. Bahkan semua juga tahu, fakta di balik acara perkemahan yang rutin diadakan setiap setahun sekali itu.

Keluarga Bagus Pandhita Rekshananta, adalah keluarga paling dihormati. Laki-laki pertama dalam keluarga itu, diketahui akan selalu menjadi pemimpin. Selain kaya raya, laki-laki keluarga Rekshananta dikenal memiliki paras elok yang membuat wanita manapun tergila-gila.

Keluarga Rekshananta diketahui memiliki rahasia abadi. Mereka memiliki hutan bunga indah, tempat di mana keindahan surgawi berpadu. Tidak ada yang mengetahui letak hutan indah itu, kecuali wanita beruntung yang akan terpilih.

Wanita yang dapat memasuki tempat itu, sudah dapat dipastikan akan menjadi Nyonya Rekshananta yang baru. Desas desus yang beredar, hutan itu ditutupi kabut putih seperti tirai yang menutupi pandangan mata. Hutan itu katanya berada di dalam kawasan hutan lindung Gunung Munjul. Lokasi yang sama dengan tempat diadakannya perkemahan rutin setiap tahun untuk pegawai pemerintahan Kabupaten.

Kegiatan rutin itu sendiri, hampir setiap tahun tidak pernah kekurangan peminat. Karena pihak pemerintah Kabupaten memang mewajibkannya. Alasannya untuk meningkatkan hubungan kekeluargaan sesama pegawai di lingkungan pemerintahan. Banyak yang menduga, saat itulah dipilih calon mempelai untuk laki-laki lajang Rekshananta.

Namun jelas, Utari tidak mengetahui rahasia itu. Mata gadis itu tidak tampak berbinar bahagia. Hanya keresahan yang dapat ditangkap mata awas Bagus Pandhita. Andai dapat memilih, pria itu ingin sekali mengembalikan saja Utari di tengah teman-temannya. Namun jodohnya tidak akan mencul dua kali.

"Apa tidak ada jalan lain?" cicit Utari yang makin resah. Dia tidak pernah membayangkan akan hanya berdua saja dengan Bagus Pandhita. Meski tampak ramah dan sopan, namun hatinya mengisyaratkan bahaya yang akan ditimbulkan pria itu. Mata pria itu penuh kuasa dan intimidasi, auranya membuat Utari tidak nyaman. Dia merasa seperti seekor tikus yang terjebak di depan seekor kucing besar.

"Malam akan menyamarkan semua jalan. Keadaan hutan menjadi gelap gulita, karena tidak ada penerangan apapun. Berita buruknya, kita justru akan semakin tersesat di sana." sesungguhnya Bagus hanya menggertak saja. Sebagai orang yang sering mengunjungi tempat itu, dia sangat paham seluruh isi hutan.

Perkemahan sebenarnya tidak terlalu jauh dari sana. Bahkan dia mengetahui jalur lain, agar perjalanan lebih singkat. Tapi untuk kali ini, dia benar-benar menyukai permainan. Bagus menyukai ketika wajah jelita Utari yang polos, dipenuhi pendar ketakutan. Gadis itu terlihat lugu, tidak kelihatan berpura-pura seperti wanita lain.

"Tapi---tapi, bagaimana kalo---kalo besok ada yang menemukan saya dengan Bapak di sini? Bukankah itu akan membahayakan reputasi anda?" jantung Utari semakin cepat memompa, ketika Bagus Pandhita tidak juga menjauhkan wajahnya.

"Kamu tidak memikirkan reputasimu? Atau kita akan memperbaiki reputasi kita masing-masing dengan cara yang benar."

"M---maksud Bapak apa?"

Senyum nakal menghias bibir tipis dan seksi pria itu. Gila! Utari merutuki pikirannya yang mulai kacau. Berdekatan lebih lama dengan pria ini, benar-benar tidak baik untuk kesehatan jantungnya.

"Hari sudah mulai sore. Sebaiknya kamu mandi dan berganti pakaian dulu. Aku akan menyiapkan makan malam untuk kita berdua."

Bagus Pandhita menarik diri, hingga Utari merasa sedikit kehilangan. Matanya mengerjap menyadari jika ada sesuatu yang salah. Dia segera beranjak dari tempatnya, begitu pria itu mulai melangkah meninggalkan Gazebo.

"Pak, tunggu!" Utari berlari kecil mengejar langkah panjang Bagus Pandhita. Pria itu berhenti sejenak, dan menoleh dengan alis berkerut ke arah Utari.

"Ada apa? Kamar mandi ada di samping Gazebo. Setelah mandi, baru akan kutunjukkan kamar tidurmu."

"Bukan itu, Pak! Bagaimana kalau saya saja yang memasak makan malamnya?"

"Tidak perlu, dan jangan membantah!"

Masih bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun