Mohon tunggu...
yassin krisnanegara
yassin krisnanegara Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembicara Publik / Coach / Pengusaha

Dalam proses belajar untuk berbagi melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Skenario Tak Terlihat

6 Januari 2025   08:04 Diperbarui: 6 Januari 2025   08:04 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sinar mentari pagi menusuk sela-sela dedaunan, menerangi jalan setapak yang basah setelah diguyur hujan. Langit biru memamerkan awan tipis, menjanjikan hari yang cerah. Namun, Anisa tetap merasa gelisah.

Ia berdiri di depan halte kecil di pinggiran kota, memeluk ransel yang penuh sesak. Napasnya berat, bukan karena lelah berjalan, melainkan karena pikirannya yang sibuk bertarung.

"Apa sebenarnya yang aku cari di sini?" pikirnya.

Baca juga: Semuanya Asumsimu

Ia memandang sekeliling. Trotoar lengang, kios kecil di seberang yang mulai membuka pintunya, dan motor-motor yang lewat tanpa jeda. Tempat ini terasa asing, seolah berbeda dunia dari rutinitas yang biasa ia jalani. Kota ini memang hanya berjarak dua jam dari rumahnya, tetapi seakan berjarak bertahun-tahun dalam suasana.

---

"Ini waktumu, Nis," kata Riana, sahabatnya, semalam sebelum keberangkatannya. "Nggak semua orang dapat peluang ini. Jangan ragu."

Kata-kata itu terus membekas. Jangan ragu. Namun, hatinya tak sepenuhnya yakin. Tiket kereta yang sudah usang ia genggam erat, seolah menjadi pengingat tujuan yang kini terasa abu-abu. Ia datang ke sini untuk mengisi posisi di lembaga pendidikan lokal, jauh dari hiruk-pikuk kota besar.

Tapi benarkah ia siap? "Bagaimana kalau aku gagal? Bagaimana kalau tempat ini bukan yang kucari?" pikirnya.

Di tengah keraguan itu, sebuah bisikan kecil muncul, nyaris tenggelam oleh suara-suara negatif di kepalanya. "Percayalah, skenario-Nya selalu indah."

Baca juga: Suara Harimau Putih

---

Anisa melangkah keluar dari halte, mencoba meyakinkan dirinya. Jalan setapak yang berdebu menjadi saksi langkah awalnya menuju kehidupan baru. Ia menoleh ke kiri, memperhatikan kios kecil yang mulai sibuk.

"Selamat pagi!"

Sapaan ceria itu membuatnya tersentak. Seorang pria tua berdiri di depan kios, tersenyum lebar sambil merapikan botol-botol minuman.

"Oh, pagi, Pak," balasnya, sedikit canggung.

"Baru datang, ya? Mau cari apa di sini?" tanya pria itu dengan nada ramah.

Anisa tersenyum kecil, ragu menjawab. Apa yang sebenarnya aku cari di sini?

"Cuma lewat, Pak," katanya, menghindari tatapan pria itu.

Pak tua itu mengangguk pelan. "Semoga hari ini penuh berkah, ya, Neng. Di sini, hidup sederhana, tapi justru kesederhanaan itu yang sering bikin hati tenang."

Kata-katanya menyentuh Anisa. Ada sesuatu di balik ucapannya yang terasa seperti pesan rahasia.

---

Hari-hari berlalu perlahan. Anisa belajar menyesuaikan diri dengan ritme baru. Pagi-pagi ia berjalan melewati jalan setapak yang sama, menyapa Pak Wira---nama pria tua di kios itu.

Namun, pikirannya terus bertarung. "Apakah aku benar-benar membuat keputusan yang tepat? Apa aku membuang waktuku di sini?"

Di sela keraguan, ia menemukan kebahagiaan kecil. Senyum anak-anak di sekolah tempatnya mengajar, tawa riang mereka yang polos, perlahan meluruhkan kecemasannya. Ada sesuatu yang berbeda di sini, sesuatu yang membuatnya merasa lebih hidup.

---

Suatu sore, ia duduk di tepi sungai kecil. Air mengalir tenang, membawa dedaunan kering. Langit jingga memeluknya, memberi rasa damai yang jarang ia rasakan.

"Hidup ini seperti sungai," gumamnya, tanpa sadar berbicara pada dirinya sendiri. "Kita hanya perlu mengikuti arus, tidak melawan. Apa pun yang terjadi, pasti sudah ada yang mengatur."

Ia menarik napas panjang, melepaskan sedikit beban yang selama ini menghimpit dadanya. Dunia yang dulu asing mulai terasa akrab.

Pak Wira pernah berkata, "Kadang, yang kita butuhkan hanya keberanian untuk melangkah. Sisanya, biar Tuhan yang atur." Kata-kata itu kini terasa nyata.

---

Malam itu, ia menulis di buku hariannya:

"Hari ini aku sadar, skenario-Nya memang selalu lebih indah dari rencana kita. Mungkin aku belum tahu ke mana hidup ini akan membawaku, tetapi aku mulai percaya, setiap langkah adalah bagian dari cerita yang lebih besar. Suatu hari nanti, saat aku menoleh ke belakang, aku akan tersenyum dan bersyukur sudah berani melangkah."

---

Hari terus berganti. Anisa tak lagi meragu. Tempat yang dulu ia anggap asing kini menjadi ruang di mana ia menemukan makna hidup. Seperti sungai yang terus mengalir, ia belajar maju tanpa takut, percaya penuh pada skenario-Nya yang selalu indah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun