Ketika Gatra memutuskan untuk mengangkat Karna sebagai tangan kanannya, Karna merasa dihargai. Tapi rasa itu berubah menjadi beban. Semua keputusan Gatra selalu dianggap benar, sementara Karna hanyalah bayangan di belakangnya.
Kesempatan yang Menggoda
Segalanya berubah ketika pria berjubah hitam itu muncul. Ia membawa kabar bahwa ada pasukan asing yang ingin merebut desa. Mereka mencari celah, dan celah itu adalah Karna.
"Kau punya kekuatan untuk mengubah segalanya," pria itu berkata suatu malam, ketika mereka pertama kali bertemu di bawah pohon beringin tua. "Tapi kau terlalu tunduk pada Gatra. Dia bukan dewa, Karna. Dia hanya manusia. Sama sepertimu."
Karna terdiam. Kata-kata itu seperti angin dingin yang menusuk hati.
"Apa yang kau inginkan dariku?" tanyanya.
"Hanya sebuah pintu yang terbuka," jawab pria itu. "Kami akan mengambil desa ini tanpa perlawanan, dan kau akan menjadi pemimpinnya. Apa yang kau dapatkan sekarang tidak sebanding dengan apa yang bisa kau miliki nanti."
Karna tahu itu salah. Tapi setiap kata yang diucapkan pria itu terasa benar.
Malam Pengkhianatan
Malam itu tiba. Karna berjalan ke rumah Gatra, membawa laporan palsu tentang serangan mendadak dari arah utara. Gatra, seperti biasa, mempercayai Karna tanpa sedikit pun curiga.
"Karna, kau urus penjagaan di sisi selatan. Aku akan memimpin pasukan ke utara," kata Gatra dengan tegas.
Karna mengangguk. Ia menatap mata Gatra, dan untuk sesaat, ia hampir berubah pikiran. Tapi bayangan janji kekuasaan membuatnya tetap pada rencananya.
Ketika Gatra dan pasukannya pergi, Karna membuka pintu gerbang selatan desa. Pasukan asing yang dipimpin pria berjubah hitam itu masuk tanpa hambatan. Mereka menghancurkan segala yang ada di hadapan mereka.