Mohon tunggu...
yassin krisnanegara
yassin krisnanegara Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembicara Publik / Coach / Pengusaha

Dalam proses belajar untuk berbagi melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bayang-Bayang di Balik Kepercayaan

25 Desember 2024   20:42 Diperbarui: 25 Desember 2024   20:42 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langit malam itu gelap, tanpa bintang. Hanya bulan pucat yang menggantung di cakrawala, menatap muram pada bumi. Di sebuah ruangan sempit dengan dinding-dinding kayu yang mulai lapuk, seorang pria duduk termenung. Namanya Karna, pemuda yang selama ini dikenal setia, menjadi tangan kanan pemimpin desa kecil di tepi hutan.

Namun malam itu, kesetiaan adalah hal terakhir yang ada di pikirannya.

"Karna, kau yakin dengan keputusanmu?" suara itu berbisik dari sudut ruangan.

Karna mengangguk perlahan, meskipun ada keraguan di matanya. "Aku tidak punya pilihan," gumamnya. "Dia terlalu percaya padaku. Dan itulah kelemahannya."

Di sudut gelap, seorang pria bertubuh besar, dengan jubah hitam lusuh dan tatapan tajam, menyeringai. Dialah yang selama ini menjadi dalang kekacauan di desa, menyulut api kecil di hati Karna yang dipenuhi iri dan ambisi.

"Kau tahu, Karna," katanya, mendekat perlahan, "setiap pemimpin besar jatuh bukan karena musuh di luar, tapi karena pengkhianat di dalam. Seperti Julius Caesar yang ditikam Brutus. Seperti Judas yang menjual Yesus. Kau hanya melanjutkan tradisi itu."

Karna menelan ludah. Ia merasa kata-kata itu benar, tapi juga menusuk hati. Apa benar dirinya hanya bagian dari siklus pengkhianatan yang tak pernah berakhir?


Titik Awal Pengkhianatan

Semuanya bermula dari rasa sakit yang kecil, hampir tak terasa, tapi terus tumbuh. Karna adalah pemuda yang dibesarkan bersama Gatra, pemimpin desa yang kini ia khianati. Gatra adalah sosok pemimpin yang tegas, tetapi adil. Ia membawa desa itu dari kemiskinan menjadi makmur. Semua orang memujanya, termasuk Karna.

Namun, semakin besar rasa hormat, semakin besar pula rasa iri yang tumbuh di hati Karna.

"Kenapa harus dia yang selalu dipuji?" pikir Karna suatu hari.

Ketika Gatra memutuskan untuk mengangkat Karna sebagai tangan kanannya, Karna merasa dihargai. Tapi rasa itu berubah menjadi beban. Semua keputusan Gatra selalu dianggap benar, sementara Karna hanyalah bayangan di belakangnya.

Kesempatan yang Menggoda

Segalanya berubah ketika pria berjubah hitam itu muncul. Ia membawa kabar bahwa ada pasukan asing yang ingin merebut desa. Mereka mencari celah, dan celah itu adalah Karna.

"Kau punya kekuatan untuk mengubah segalanya," pria itu berkata suatu malam, ketika mereka pertama kali bertemu di bawah pohon beringin tua. "Tapi kau terlalu tunduk pada Gatra. Dia bukan dewa, Karna. Dia hanya manusia. Sama sepertimu."

Karna terdiam. Kata-kata itu seperti angin dingin yang menusuk hati.

"Apa yang kau inginkan dariku?" tanyanya.

"Hanya sebuah pintu yang terbuka," jawab pria itu. "Kami akan mengambil desa ini tanpa perlawanan, dan kau akan menjadi pemimpinnya. Apa yang kau dapatkan sekarang tidak sebanding dengan apa yang bisa kau miliki nanti."

Karna tahu itu salah. Tapi setiap kata yang diucapkan pria itu terasa benar.


Malam Pengkhianatan

Malam itu tiba. Karna berjalan ke rumah Gatra, membawa laporan palsu tentang serangan mendadak dari arah utara. Gatra, seperti biasa, mempercayai Karna tanpa sedikit pun curiga.

"Karna, kau urus penjagaan di sisi selatan. Aku akan memimpin pasukan ke utara," kata Gatra dengan tegas.

Karna mengangguk. Ia menatap mata Gatra, dan untuk sesaat, ia hampir berubah pikiran. Tapi bayangan janji kekuasaan membuatnya tetap pada rencananya.

Ketika Gatra dan pasukannya pergi, Karna membuka pintu gerbang selatan desa. Pasukan asing yang dipimpin pria berjubah hitam itu masuk tanpa hambatan. Mereka menghancurkan segala yang ada di hadapan mereka.

Pengkhianat Selalu Membayar Harga

Keesokan paginya, desa itu porak poranda. Gatra tertangkap dan dibawa ke tengah lapangan. Karna, dengan rasa bersalah yang membebani dadanya, berdiri di sisi pria berjubah hitam itu.

"Kau berhasil, Karna," kata pria itu sambil menepuk bahunya. "Sekarang kau adalah pemimpin."

Tapi Karna tidak merasakan kemenangan. Ia melihat Gatra, dengan luka di sekujur tubuhnya, menatapnya tanpa marah, tanpa benci. Hanya tatapan penuh kekecewaan.

"Aku percaya padamu, Karna," suara Gatra lemah tapi jelas. "Dan itulah kelemahanku."

Kata-kata itu menghantam Karna lebih keras daripada pedang. Ia tahu, meski kini ia menjadi pemimpin, ia telah kehilangan sesuatu yang jauh lebih berharga: kepercayaan.

Pria berjubah hitam itu tertawa. "Karna, kau tahu apa yang selalu terjadi pada pengkhianat?"

Karna menoleh, bingung.

"Mereka digunakan, lalu dibuang."

Sebelum Karna sempat bereaksi, pria itu menghunuskan belati ke perutnya. Karna terjatuh, merasakan nyawanya perlahan meninggalkan tubuh.

Lingkaran Pengkhianatan

Ketika Karna menghembuskan napas terakhir, ia menyadari satu hal. Sejarah memang selalu berulang. Di setiap masa, ada Gatra, ada Karna, dan ada pria berjubah hitam.

Pengkhianatan adalah bagian dari sifat manusia. Tapi, pada akhirnya, pengkhianat selalu membayar harganya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun