Mohon tunggu...
yassin krisnanegara
yassin krisnanegara Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembicara Publik / Coach / Pengusaha

Dalam proses belajar untuk berbagi melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Menabung Vs Konsumsi, Pilihan Sulit di Era Modern?

23 September 2024   12:03 Diperbarui: 27 September 2024   11:06 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menabung. (Foto: KOMPAS.com / ANDREAS LUKAS ALTOBELI)

Bing beng bang, Yok kita ke bank
Bang bing bung, Yok kita nabung
Tang ting tung, Hey jangan dihitung
Tau-tau nanti dapat untung.
(Lirik lagu "Menabung" -- Titiek Puspa)

Pada era 1990-an, pesan dalam lagu "Menabung" karya Titiek Puspa begitu sederhana dan jelas: menyisihkan uang untuk masa depan adalah langkah bijak. 

Namun, di masa kini, prinsip tersebut semakin sulit diterapkan. Meski memiliki pendapatan tetap, banyak orang merasa seolah-olah uang mereka tidak pernah cukup untuk ditabung. 

Alih-alih memprioritaskan menabung atau berinvestasi, banyak yang justru terjebak dalam pola konsumsi berlebihan. 

Pertanyaannya, mengapa menabung di era modern menjadi lebih sulit? Apakah perkembangan gaya hidup dan teknologi telah memudarkan nilai menabung?

Jawaban atas pertanyaan ini lebih kompleks dari yang terlihat. Di tengah kemudahan akses kredit dan tekanan sosial yang semakin kuat, banyak orang kesulitan mengendalikan pengeluaran. 

Mari kita lihat beberapa alasan mengapa banyak orang, terutama generasi modern, semakin sulit menyisihkan uang di tengah tuntutan konsumsi yang terus meningkat.

Salah satu penyebab utama kesulitan menabung adalah tekanan sosial, terutama dari media sosial. Di era digital ini, kebutuhan untuk "tampil" dan mengikuti tren sangat kuat. 

Setiap hari kita terpapar oleh gambar-gambar dari teman, influencer, dan selebriti yang memamerkan gaya hidup mewah, barang-barang terbaru, atau perjalanan liburan eksotis. 

Tekanan ini secara tidak langsung memengaruhi banyak orang untuk ikut mengadopsi gaya hidup serupa, meski harus mengorbankan tabungan.

Menurut laporan dari We Are Social, pengguna media sosial di Indonesia rata-rata menghabiskan 3 jam per hari di platform seperti Instagram, Facebook, dan TikTok. 

Dalam waktu tersebut, mereka terpapar ribuan iklan dan konten yang mempromosikan produk serta gaya hidup. Akibatnya, banyak orang terdorong untuk membeli barang-barang yang tidak mereka butuhkan demi merasa relevan atau mengikuti tren yang dilihat di layar ponsel mereka.

Kecenderungan untuk mengutamakan konsumsi ini sering kali membuat orang lebih memilih membelanjakan uang untuk barang-barang sementara daripada menyisihkan dana untuk tabungan atau investasi jangka panjang. 

Pola ini kian diperparah oleh gaya hidup serba cepat yang memudahkan akses untuk membeli hampir apa saja dalam waktu singkat.

Kemudahan akses kredit juga menjadi salah satu faktor utama yang membuat menabung semakin sulit.

Dulu, jika seseorang ingin membeli barang mahal, mereka harus menabung terlebih dahulu hingga uang terkumpul. Kini, dengan adanya kredit instan dan skema cicilan tanpa bunga, siapa pun dapat membeli barang tanpa harus menunggu.

Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa outstanding kredit paylater pada Juli 2024 meningkat 36,65% secara tahunan menjadi Rp18,01 triliun. 

Data ini menegaskan bahwa banyak orang memanfaatkan fasilitas kredit untuk memenuhi gaya hidup konsumtif mereka. 

Namun, meskipun terlihat menguntungkan di awal, cicilan yang terus menumpuk bisa menghabiskan sebagian besar pendapatan bulanan, membuat tabungan semakin sulit diutamakan.

Konsep buy now, pay later yang ditawarkan oleh banyak platform e-commerce juga mendorong kita untuk berbelanja lebih banyak dari yang seharusnya. 

Banyak orang akhirnya terjebak dalam utang konsumsi yang tanpa sadar mengurangi kemampuan mereka untuk menabung atau berinvestasi untuk masa depan.

Di era modern, ada perubahan prioritas di mana pengalaman hidup dianggap lebih berharga daripada kepemilikan aset. 

Ini terutama berlaku bagi generasi milenial dan Gen Z yang lebih memilih menghabiskan uang untuk liburan, kuliner, dan hiburan dibandingkan menabung untuk membeli rumah atau berinvestasi jangka panjang.

Menurut riset dari Katadata Insight Center (KIC), sebanyak 56,5% responden milenial dan Gen Z hanya memiliki tabungan yang cukup untuk kebutuhan sehari-hari selama kurang dari tiga bulan. 

Banyak dari mereka yang lebih memilih menghabiskan penghasilan untuk hal-hal yang memberikan kebahagiaan instan, tanpa terlalu memikirkan dampak jangka panjang.

Pergeseran fokus ini mungkin dipicu oleh ketidakpastian ekonomi dan ketakutan akan masa depan yang tidak pasti. Akibatnya, banyak orang lebih memilih untuk menikmati momen saat ini daripada merencanakan masa depan yang belum jelas. 

Mereka merasa bahwa investasi untuk jangka panjang tidak sepenting menikmati kebahagiaan sesaat, meski itu berarti mengorbankan stabilitas finansial di kemudian hari.

Selain tekanan sosial dan kemudahan kredit, ada juga aspek ekonomi yang tidak bisa diabaikan. Di kota-kota besar, inflasi gaya hidup menjadi tantangan utama yang membuat menabung semakin sulit. 

Biaya hidup yang terus meningkat tidak sebanding dengan kenaikan pendapatan. Misalnya, harga properti di Jakarta dan kota-kota besar lainnya terus melonjak dalam beberapa tahun terakhir, sementara pendapatan rata-rata tidak mengalami kenaikan signifikan.

Selain itu, biaya pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan lainnya juga terus meningkat. Banyak orang terpaksa memprioritaskan pengeluaran jangka pendek untuk kebutuhan sehari-hari dibandingkan menyisihkan uang untuk masa depan. 

Dalam kondisi ini, meskipun ada niat untuk menabung, realitas ekonomi sering kali memaksa mereka untuk lebih fokus pada konsumsi.

Jika menabung semakin sulit, apakah ada solusi yang bisa membantu? Salah satu cara yang paling mendasar adalah dengan meningkatkan literasi keuangan. 

Banyak orang kesulitan menabung bukan karena mereka tidak memiliki uang, tetapi karena tidak tahu bagaimana mengelola uang tersebut dengan baik. 

Edukasi keuangan harus diajarkan sejak dini, baik di sekolah maupun di tempat kerja, agar orang dapat memahami pentingnya menabung dan berinvestasi.

Menurut survei dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2022, tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia hanya 49,68%. Ini menunjukkan bahwa banyak orang belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang cara mengelola keuangan. 

Jadi, dengan literasi keuangan yang lebih baik, orang akan lebih mudah memahami pentingnya mengatur pengeluaran, menyisihkan uang untuk tabungan, dan berinvestasi demi masa depan.

Selain edukasi keuangan, disiplin diri juga sangat penting. Kita perlu belajar menunda kepuasan jangka pendek demi kepentingan jangka panjang. 

Meskipun godaan untuk terus berbelanja selalu ada, kita harus ingat bahwa menabung dan berinvestasi adalah kunci untuk mencapai stabilitas finansial di masa depan.

Namun, tantangan ini bukan berarti tidak dapat diatasi. Langkah awal yang bisa diterapkan adalah dengan mengubah pola pikir terkait menabung dan investasi. 

Menabung tidak lagi hanya sekadar menyisihkan uang dari sisa pengeluaran, melainkan harus diprioritaskan di awal. 

Konsep "pay yourself first" atau menyisihkan dana di awal sebelum membelanjakan uang untuk kebutuhan lainnya, merupakan salah satu strategi yang dapat membantu meningkatkan kebiasaan menabung.

Selain itu, penggunaan teknologi juga bisa dimanfaatkan untuk mempermudah pengelolaan keuangan. Saat ini, banyak aplikasi keuangan yang menawarkan fitur budgeting, pengingat menabung, hingga rekomendasi investasi. 

Aplikasi ini bisa membantu mengontrol pengeluaran, menetapkan target tabungan, serta melacak kemajuan secara rutin. Dengan adanya teknologi, proses menabung bisa lebih teratur dan efisien, sehingga tidak terasa membebani.

Tak hanya itu, penting untuk mulai membangun kebiasaan hidup sederhana dan bijak dalam mengelola keuangan. 

Menjadi lebih selektif dalam berbelanja, menghindari godaan belanja impulsif, serta membuat daftar prioritas pengeluaran bisa menjadi langkah efektif untuk menjaga keseimbangan antara konsumsi dan investasi. 

Pada akhirnya, kebebasan finansial dapat tercapai dengan komitmen jangka panjang terhadap kebiasaan yang sehat secara finansial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun