Di era modern, ada perubahan prioritas di mana pengalaman hidup dianggap lebih berharga daripada kepemilikan aset.Â
Ini terutama berlaku bagi generasi milenial dan Gen Z yang lebih memilih menghabiskan uang untuk liburan, kuliner, dan hiburan dibandingkan menabung untuk membeli rumah atau berinvestasi jangka panjang.
Menurut riset dari Katadata Insight Center (KIC), sebanyak 56,5% responden milenial dan Gen Z hanya memiliki tabungan yang cukup untuk kebutuhan sehari-hari selama kurang dari tiga bulan.Â
Banyak dari mereka yang lebih memilih menghabiskan penghasilan untuk hal-hal yang memberikan kebahagiaan instan, tanpa terlalu memikirkan dampak jangka panjang.
Pergeseran fokus ini mungkin dipicu oleh ketidakpastian ekonomi dan ketakutan akan masa depan yang tidak pasti. Akibatnya, banyak orang lebih memilih untuk menikmati momen saat ini daripada merencanakan masa depan yang belum jelas.Â
Mereka merasa bahwa investasi untuk jangka panjang tidak sepenting menikmati kebahagiaan sesaat, meski itu berarti mengorbankan stabilitas finansial di kemudian hari.
Selain tekanan sosial dan kemudahan kredit, ada juga aspek ekonomi yang tidak bisa diabaikan. Di kota-kota besar, inflasi gaya hidup menjadi tantangan utama yang membuat menabung semakin sulit.Â
Biaya hidup yang terus meningkat tidak sebanding dengan kenaikan pendapatan. Misalnya, harga properti di Jakarta dan kota-kota besar lainnya terus melonjak dalam beberapa tahun terakhir, sementara pendapatan rata-rata tidak mengalami kenaikan signifikan.
Selain itu, biaya pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan lainnya juga terus meningkat. Banyak orang terpaksa memprioritaskan pengeluaran jangka pendek untuk kebutuhan sehari-hari dibandingkan menyisihkan uang untuk masa depan.Â
Dalam kondisi ini, meskipun ada niat untuk menabung, realitas ekonomi sering kali memaksa mereka untuk lebih fokus pada konsumsi.
Jika menabung semakin sulit, apakah ada solusi yang bisa membantu? Salah satu cara yang paling mendasar adalah dengan meningkatkan literasi keuangan.Â