Pertama, dilakukan dengan cara mengecek atau meneliti apakah dalam Undang-Undang perubahan tersebut terdapat ketentuan yang mengatur tentang pidana. Kedua, jika dalam ketentuan perubahan ketentuan perpajakan tersebut terdapat ketentuan yang mengatur tentang pidana, apakah ketentuan pidana tersebut telah diatur dalam Undang-Undang  (apapun Undang-Undangnya) sebelumnya.
Jika belum diatur dalam Undang-Undang sebelumnya dan baru diatur dalam Undang-Undang Pajak tahun 2020, maka ketentuan pidana dalam Undang-Undang baru tersebut merupakan atau termasuk dalam kategori kriminalisasi. Demikian pula sebaliknya jika ketentuan pidana tersebut sebelumnya telah diatur dalam suatu Undang-Undang termasuk bukan Undang-Undang di bidang perpajakan maka pengaturan tersebut tidak atau bukan merupakan pengertian kriminalisasi.
Apabila kita menyisir ketentuan pajak yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 (Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2020), khususnya dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8, kita sama sekali tidak menemukan satu ketentuan pun yang megatur tentang sanksi pidana. Jadi dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 ini dapat dipastikan bahwa tidak terdapat satupun ketentuan pajak yang mengalami kriminalisasi, baik itu yang terdapat dalam Undang-Undang KUP, Undang-Undang PPN maupun Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Berbeda dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, jika kita menyisir ketentuan pajak yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yaitu dalam Pasal 111, Pasal 112, dan Pasal 113, kita dapat menemukan ketentuan pidana atau yang terkait dengan pidana pajak, khususnya ketentuan dalam Pasal 113 yang mengatur beberapa perubahan ketentuan Undang-Undang KUP.
Ketentuan pidana atau yang terkait dengan pidana dalam Pasal 113 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020, pada hemat adalah ketentuan perubahan Pasal 8 ayat (3), Pasal 44B, dan Pasal 38 Undang-Undang KUP. Untuk perubahan Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 44B Undang-Undang KUP tetap tidak mengatur mengenai perbuatan atau tindak pidana (delik) yang dilakukan. Kedua ketentuan tersebut tetap hanya mengatur mengenai besaran sanksi administrasi jika perbuatan pidana tidak diproses lebih lanjut, yaitu besaran sanksinya masing-masing menjadi lebih kecil. Oleh karena itu kedua ketentuan tersebut pun tidak termasuk dalam kategori Kriminalisasi.
Bagaimana dengan perubahan ketentuan Pasal 38 Undang-Undang KUP? Perubahan ketentuan tersebut yang dilakukan melalui Undang-Undang Cipta Kerja tentu sangat menarik untuk dibahas dalam perspektif kriminologi karena ketentuan Pasal 38 tersebut dalam perspektif pemidanaan kembali sebagaimana diatur dalam Undang-Undang KUP sebelum tahun 2007.
Mengapa? Karena dalam Undang-Undang Cipta Kerja tersebut ketentuan Pasal 38 Undang-Undang KUP diubah menjadi bahwa setiap orang yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan (melampirkan keterangan) yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara dikenai sanksi pidana. Hal itu berlaku baik untuk perbuatan yang pertama kali atau yang setelahnya.
Mengingat dalam Pasal 38 Undang-Undang KUP tahun 2007 diatur bahwa jika perbuatan diatas dilakukan untuk yang pertama kali sanksinya adalah sanksi administrasi, sementara dalam Undang-Undang Cipta Kerja walau untuk perbuatan yang pertama kali langsung dikenai sanksi pidana, maka perubahan Pasal 38 Undang-Undang KUP melalui Undang-Undang Cipta Kerja untuk perbuatan yang pertama kali tersebut merupakan Penalisasi, bukan Kriminalisasi. Karena berdasarkan Undang-Undang KUP 2007, perbuatan tersebut dikenai sanksi administrasi sementara berdasarkan Undang-Undang baru atau berikutnya, perbuatan tersebut dikenai sanksi pidana.
Kemudian untuk Undang-Undang 10 Tahun 2020 Tentang Bea Meterai, apakah termasuk Undang-Undang yang melakukan kriminalisasi mengingat terdapat beberapa ketentuan, yaitu dalam Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 mengatur mengenai ketentuan pidana, apalagi rumusan atau bunyi redaksional ketentuan pidana tersebut sangat berbeda dengan ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pada hemat kami cukup dengan menggunakan resep diatas, yaitu jika ketentuan pidana tersebut belum diatur dalam Undang-Undang sebelumnya dan baru diatur dalam Undang-Undang Pajak tahun 2020, maka ketentuan pidana dalam Undang-Undang Bea Meterai baru tersebut merupakan atau termasuk dalam kategori Kriminalisasi.
Namun jika ketentuan pidana tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 termasuk Undang-Undang lainnya (termasuk bukan Undang-Undang perpajakan) dan kembali diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 walaupun terdapat perbedaan dalam rumusan ketentuan dan besaran sanksi, maka pengaturan tersebut tidak termasuk dalam kategori atau pengertian Kriminalisasi.