Misalnya jika berdasarkan Undang-Undang (KUP) berikutnya, ketentuan dalam Pasal 41C dicabut apalagi pasal 35A juga dicabut, maka ILAP bebas dan boleh saja tidak menyampaikan data dan informasi perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Tidak ada konsekuensi hukum atau sanksi apapun jika ILAP tidak menyampaikan data dan informasi perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Itulah makna Dekriminalisasi.
Selain Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, dalam kriminologi juga mengajarkan tentang Penalisasi, yaitu suatu perbuatan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan sebelumnya atau lama, (pelanggaran atas) suatu perbuatan dikenai sanksi administrasi atau perdata (non pidana), tetapi berdasarkan Undang-Undang baru perbuatan tersebut dikategorikan atau dikenai sanksi pidana.
Misalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang KUP yang saat ini berlaku, jika Wajib Pajak terlambat melunasi utang pajak Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) maka dikenai sanksi administrasi berupa bunga untuk setiap bulannya. Jika sanksi tersebut berdasarkan Undang-Undang (KUP) baru diatur bahwa bagi Wajib Pajak atau penangggung pajak yang tidak atau terlambat melunasi utang pajaknya sesuai Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) Undang-Undang KUP dikenai sanksi pidana, maka hal itu dinamakan dengan Penalisasi.
Selanjutnya, dalam kriminologi juga terdapat suatu istilah yang dinamakan Depenalisasi, yaitu suatu perbuatan yang berdasarkan Undang-Undang sebelumnya atau lama, (pelanggaran atas) suatu perbuatan dikenai sanksi pidana, tetapi berdasarkan peraturan perundang-undangan baru atas pelanggaran suatu perbuatan tersebut dikenai sanksi non pidana (administrasi atau perdata).
Misalnya Wajib Pajak badan yang tidak menyelenggarakan pembukuan terkait dengan kewajiban perpajakannya sehingga merugikan pada pendapatan Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 39 Undang-Undang KUP pada saat ini merupakan perbuatan pidana. Namun jika berdasarkan Undang-Undang KUP berikutnya perbuatan tersebut tidak lagi dikenai sanksi pidana tetapi hanya dikenai sanksi administrasi, maka perbuatan tersebut merupakan atau termasuk dalam kategori Depenalisasi.
Kembali dengan bahasan tentang Kriminalisasi sebagaimana topik atau judul artikel ini. Pada hemat kami pemaknaan kriminalisasi sebagai suatu perbuatan yang dilakukan seseorang baik sendirian maupun beberapa orang atau subjek hukum lainnya yang menurut hukum atau perundang-undangan bukan merupakan suatu perbuatan pidana, tetapi oleh penegak hukum diproses sebagai perbuatan pidana, dalam kehidupan sehari-hari hal itu sejalan dengan fenomena yang terjadi dengan pemaknaan antara lain terhadap nama merek dagang antara lain seperti odol, honda dan aqua.
Odol adalah nama pasta gigi yang berasal dari Jerman dan sangat popular sejak era penjajahan Belanda di Indonesia sampai akhir 1980-an. Tidak jarang diantara kita jika mau beli pasta gigi, selalu sering mengatakan ‘mau beli odol pepsodent, close up, sensodyne, formula, enzim….”, padahal odol merupakan salah satu nama pasta gigi sama halnya seperti pepsodent, close up, sensodyne, formula, enzim dan yang lainnya.
Demikian halnya dalam era tertentu di daerah tertentu, ketika seseorang menyebut sepeda motor dengan sebutan Honda. “Saya kemarin naik Honda ke Puncak”, padahal dia naik sepeda motor Yamaha. Bahkan saat ini pun di daerah tertentu kita kadang-kadang masih menemukan suatu fenomena demikian, “Kemarin dia beli Honda merek Suzuki.”
Untuk produk air mineral pun fenomenanya demikian. “Saya tadi minum aqua satu botol”, padahal yang bersangkutan minum air mineral bermerek nestle, vit, ok oce, le minerale, aquaria, blue, atau yang lain. Dan kita pun mendapati hal yang umum jika di rumah makan, seseorang pesan air mineral satu botol kemasan dengan mengatakan ‘pesan aqua’ tetapi yang datang adalah merek lain. Pemesan air mineral tersebut pun tidak mempermasalahkan karena maksud dia adalah pesan air mineral apapun mereknya walaupun ia mengatakannya dengan sebutan aqua.
Penulis ketika menjadi wartawan Jawa Pos Group sekitar seperempat abad atau 25 tahun lalu pun punya pengalaman yang unik. Suatu ketika teman penulis yang menjadi wartawan Surya Surabaya, Farchan, mendapatkan tugas peliputan di suatu daerah, taruhlah daerah M. Dia bertanya kepada penulis, “Arif kemarin ikut peliputan ke M?”. Kujawab, “Tidak ikut!”.
Farchan pun bercerita, “Saya kemarin ke M punya pengalaman spesial. Saya ditanya, kerja dimana mas? Ya, saya jawab menjadi wartawan Surya Surabaya”. Begitu Farchan menjawab seperti itu, seseorang yang berasal dari daerah M itu pun berujar, “Mas, sekarang Jawa Pos banyak sekali ya? Ada Jawa Pos Kompas, Jawa Pos Surya, Jawa Pos Karya Dharma, Jawa Pos Memorandum, dan masih banyak yang lain!”.