Jadi, jika selama ini kita memahami makna kriminalisasi sebagai suatu perbuatan seseorang atau subjek hukum lainnya yang berdasarkan Undang-Undang bukan merupakan suatu perbuatan pidana tetapi oleh penegak hukum diproses pidana, hal ini sama halnya atau tidak ada bedanya dengan kekeliruan pemahaman makna seperti memahami nama atau merek dagang odol, honda, aqua bahkan Jawa Pos dalam konteks masyarakat tertentu dan era tertentu seperti dicontohkan diatas.
Oleh karena itu, setelah kita memahami makna Kriminalisasi, perlu kiranya kita mengembalikan atau memberikan makna kriminalisasi dengan benar sesuai pemahaman akademik ilmiah, yaitu suatu perbuatan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan lama atau sebelumnya tidak dikategorikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar hukum, baik itu pelanggaran pidana, pelanggaran administrasi atau pelanggaran lainnya, atau dengan kata lain perbuatan tersebut boleh-boleh saja dilakukan, tetapi berdasarkan Undang-Undang baru, perbuatan tersebut dikategorikan atau merupakan suatu perbuatan pidana.
Pemahaman makna Kriminalisasi bagi sebagian kalangan yang selama ini tidak sejalan dengan makna kriminalisasi sebagai mana dimaksud dalam kriminologi, pada hemat kami merupakan fenomena yang wajar apalagi makna tersebut kadang-kadang dikemukakan oleh pihak yang mempunyai nilai “news” jurnalistik yang tinggi atau yang mempunyai otoritas tertentu. Namun demikian juga menjadi kewajiban kita bersama untuk mulai meluruskan makna kriminalisasi dengan benar sesuai dengan makna yang terdapat dalam kriminologi.
Dalam perkembangan sejarah ilmu pengetahuan pun keadaan yang demikian pernah bahkan seringkali terjadi dan sempat menimbulkan inkuisisi (apa yang terjadi dengan Socrates, Giordano Bruno, Galilea Galilei, Copernicus dan lainnya-tidak sejaman). Misalnya dalam abad kegelapan, teori Geosentrisme yang memandang bahwa bumi sebagai pusat tata surya merupakan teori yang dianggap benar oleh penguasa sebelum akhirnya diluruskan dengan teori Heliosentrisme bahwa matahari sebagai pusat tata surya. Diterimanya Heliosentrisme sebagai teori atau ilmu pengetahuan yang benar pun setelah melalui perjuangan panjang dan memilukan.
UU PAJAK 2020
Seagaimana kita ketahui bersama dalam tahun 2020 ini telah lahir 3 (tiga) Undang-Undang yang mengatur tentang pajak, yaitu pertama, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 yang antara lain mengatur mengenai beberapa perubahan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang KUP, Undang-Undang PPN dan Undang-Undang Pajak Pajak Penghasilan.
Kedua, Undang-Undang Nomor Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang antara lain juga mengatur mengenai beberapa perubahan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang KUP, Undang-Undang PPN, dan Undang-Undang Pajak Penghasilan. Ketiga, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 Tentang Bea Meterai yang menggantikan dan sekaligus mencabut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai.
Jika kita cermati bersama, kita tentu mempunyai pandangan yang sama mengenai ketiga bangunan Undang-Undang tersebut. Perubahan Undang-Undang KUP, perubahan Undang-Undang PPN dan perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan, baik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 maupun dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020, tidak berada atau diatur dalam bangunan Undang-Undang Perpajakan atau dengan kata lain tidak berada di “Rumah Kita”.
Sementara jika kita mencermati bangunan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 Tentang Bea Meterai, kita dapat dengan mudah mengambil kesimpulan bahwa bangunan Undang-Undang Meterai ini berbeda bahkan berbanding terbalik dengan bangunan kedua Undang-Undang diatas. Jika Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 maupun Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020, tidak diatur dalam Undang-Undang Perpajakan atau tidak berada di “Rumah Kita”, maka Undang-Undang Nomor 10 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai konsisten diatur dalam Undang-Undang Perpajakan atau tetap berada di “Rumah Kita”.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 maupun Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020, yang antara lain juga mengatur mengenai beberapa perubahan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang KUP, Undang-Undang PPN, dan Undang-Undang Pajak Penghasilan, hal ini tentu menimbulkan diskursus baru terkait dengan prinsip hukum pajak yang selama ini kita pegang erat dan teguh, yaitu ‘Ketentuan Perpajakan Harus Diatur Dalam Rezim (Perundang-Undangan) Perpajakan’.
Kita kembali dalam diskursus tentang kriminalisasi yang terdapat dalam ketiga Undang-Undang Pajak Tahun 2020. Pada hemat kami, untuk menguji apakah masing-masing Undang-Undang Perpajakan yang diundangkan pada tahun 2020 mengalami kriminalisasi atau tidak mengalami kriminalisasi, sangatlah sederhana. Bagaimanakah caranya?