Beberapa saat setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 5 Oktober 2020 menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Cipta Kerja yang disampaikan atau diajukan pemerintah, “draft akhir” RUU itu pun dengan cepat beredar di dunia maya walaupun tidak diketahui dengan pasti apakah draft tersebut merupakan draft final, belum final, ataukah draft final yang masih perlu dirapikan.
Tidak lama setelah draft tersebut beredar, beberapa penyidik pajak pun menyampaikan beberapa pandangannya dan mengajak berdiskusi dengan penulis mengenai beberapa ketentuan perpajakan yang diatur dalam (R)UU Cipta Kerja khususnya menyangkut ketentuan dalam Bab Pidana, baik yang mengubah, tidak mengubah, mencabut, tidak menambahkan, atau tidak mengurangkan ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (Undang-Undang KUP).
Dalam hari yang sama, mantan Direktur Penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kini merupakan pejabat penting di institusi Kejaksaan, juga sempat mendiskusikan dengan penulis mengenai rumusan ketentuan pidana dalam (R)UU Cipta Kerja khususnya mengenai ketentuan yang diatur dalam Pasal 44B Undang-Undang KUP.
Menarik sekali memang berbicara tentang pidana pajak, apalagi dengan berbagai dinamika dan fenomena yang melingkupinya ditambah lagi dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perpajakan yang mengatur pidana pajak secara spesial dan bersifat spesial antara lain yang mengatur mengenai sanksi pidana pajak yang dapat ‘diganti’ atau diselesaikan dengan pembayaran pajak yang terutang dalam jumlah tertentu beserta sanksi administrasinya.
Di samping itu, isyu antara lain mengenai mens rea, mala inse/malum in se (sering disebut mala perse) dan mala prohibita, indubio proreo, geen straft zonder schuld dalam konteks Pasal 39A Undang-Undang KUP, eendaadsche samenloop dan meerdadsche samenloop, ultimum remedium dan primum remedium dalam pidana pajak, lama dan besaran sanksi pidana pajak, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, kewenangan pemeriksa bukti permulaan dan kewenangan penyidik pajak, dan justice collaborative/collaborator; merupakan topik spesial yang sangat menarik untuk menjadi suatu diskursus.
Namun demikian dalam kesempatan ini mengingat begitu terbatasnya space untuk membahas ketentuan pidana pajak dalam UU Perpajakan maka dalam artikel ini penulis hanya menyajikan hal-hal fundamental terkait dengan pidana pajak, yaitu mengenai kriminologi (perpajakan), yaitu ilmu yang mempelajari tentang tindak pidana (di bidang perpajakan), khususnya terkait dengan makna Kriminalisasi, Dekriminalisasi, Penalisasi dan Depenalisasi dalam Undang-Undang Pajak Baru, yaitu Undang-Undang Pajak 2020.
Kita seringkali mendengar istilah kriminologi di berbagai media, baik itu media cetak maupun media elektronik, bahkan dalam berbagai pertemuan ilmiah termasuk seminar, diklat, simposium, dialog, lokakarya dan kegiatan lainnya yang sejenis yang mengartikan kriminalisasi sebagai suatu perbuatan yang dilakukan seseorang baik sendirian maupun beberapa orang yang menurut hukum atau perundang-undangan bukan merupakan suatu perbuatan pidana, tetapi oleh penegak hukum diproses sebagai perbuatan pidana.
Dalam beberapa tahun terakhir, istilah kriminalisasi sempat begitu popular kita temui di berbagai media ketika antara lain pimpinan KPK Abraham Samad, Bambang Widjoyanto, Bibit dan Chandra ditetapkan sebagai tersangka. Demikian halnya ketika Fredrich Yunadi & Bimanesh (kasus Setya Novanto) ditetapkan sebagai tersangka, termasuk juga Eggi Sudjana. Tentu masih banyak peristiwa lain yang mengakibatkan peristiwa tersebut dikatakan sebagai tindakan kriminalisasi.
Bahkan ketika petugas pajak melaksanakan tugas perundang-undangan seperti pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan atau penagihan pajak, sempat juga dilaporkan kepada penegak hukum dan ditetapkan sebagai tersangka. Hal ini pun kemudian juga dikatakan telah terjadi kriminalisasi terhadap petugas pajak.