Pola pikir yang sempit dan tekstual kerap menggerus semangat keberagaman ini.
Indonesia dikenal sebagai negara dengan keberagaman yang luar biasa, dari segi budaya, agama, hingga suku bangsa. Prinsip Bhinneka Tunggal Ika menjadi landasan kokoh bagi harmoni di tengah perbedaan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, ancaman intoleransi semakin nyata.Salah satu contoh nyata adalah sikap menolak transaksi bisnis atau interaksi sosial dengan alasan perbedaan agama, seperti tidak mau menerima pesanan untuk acara gereja atau Natal. Apakah ini sejalan dengan ajaran agama yang mengajarkan kasih sayang dan kemanusiaan? Ataukah kita telah terjebak dalam pola pikir yang salah dan merugikan diri sendiri?
1. Ketidaksesuaian dengan Nilai Dasar Keagamaan
Sebagai bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam, penting untuk kembali pada ajaran dasar agama. Dalam QS. Al-Mumtahanah: 8, Allah berfirman bahwa kita diperintahkan untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada siapa saja, selama mereka tidak memerangi kita. Ayat ini menunjukkan bahwa interaksi sosial dan saling membantu tidak dilarang, bahkan dianjurkan, selama tidak melanggar prinsip-prinsip agama.
Namun, sikap menolak pesanan atau melarang interaksi bisnis karena alasan perbedaan agama lebih sering didasarkan pada interpretasi yang dangkal atau kekhawatiran berlebihan, bukan pada esensi ajaran Islam yang sesungguhnya. Nabi Muhammad SAW sendiri adalah contoh toleransi dalam bermasyarakat. Beliau menerima hadiah dari non-Muslim dan bahkan bekerja sama dengan mereka dalam urusan perdagangan.
2. Dampak Intoleransi bagi Indonesia
Hilangnya Harmoni Sosial
Intoleransi tidak hanya menciptakan jarak antaragama, tetapi juga memicu ketegangan yang dapat berujung pada konflik. Contoh konflik antaragama di Ambon dan Poso pada masa lalu seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi kita.
Kerugian Ekonomi
Penolakan transaksi karena perbedaan agama merugikan pelaku usaha secara langsung. Selain kehilangan pelanggan, sikap ini menciptakan citra buruk tentang profesionalisme dunia bisnis di Indonesia.
Merosotnya Citra Indonesia di Dunia
Indonesia dikenal dunia sebagai negara dengan mayoritas Muslim yang moderat dan toleran. Jika intoleransi terus berkembang, reputasi ini akan hancur. Dunia akan melihat Indonesia sebagai negara yang gagal menjaga harmoni dalam keberagamannya.
3. Apa yang Salah dengan Pola Pikir Kita?
1. Pemahaman Agama yang Sempit
Banyak orang memahami agama hanya secara tekstual tanpa memperhatikan konteksnya. Mereka lebih fokus pada aturan-aturan simbolis daripada nilai-nilai universal seperti kasih sayang, keadilan, dan kemanusiaan.
2. Pengaruh Budaya Luar yang Tidak Sesuai
Beberapa pola pikir intoleran diimpor dari negara-negara Timur Tengah yang cenderung homogen dalam budaya dan agama. Pola ini tidak cocok diterapkan di Indonesia yang pluralistik.
3. Kurangnya Pendidikan Keberagaman
Sistem pendidikan kita masih minim dalam mengajarkan pentingnya keberagaman. Anak-anak diajarkan untuk memahami agama mereka, tetapi kurang dibekali dengan wawasan tentang menghormati perbedaan.
4. Jalan Keluar: Membangun Pola Pikir yang Sehat
Mendorong Pendidikan Keberagaman
Kurikulum pendidikan perlu memuat materi tentang pentingnya toleransi dan keberagaman sebagai bagian dari identitas bangsa.
Memperkuat Dialog Antaragama
Dialog terbuka antaragama akan membantu mengurangi kesalahpahaman dan memperkuat hubungan antarumat beragama.
Belajar dari Teladan Nabi Muhammad SAW
Nabi Muhammad adalah contoh nyata toleransi. Beliau tidak hanya hidup berdampingan dengan orang-orang dari agama lain, tetapi juga menjalin hubungan baik dengan mereka. Ini membuktikan bahwa keberagaman bukanlah ancaman, melainkan peluang untuk berbuat baik.
5. Kesimpulan: Membela Keberagaman sebagai Identitas Bangsa
Indonesia tidak akan pernah maju jika kita terus terjebak dalam pola pikir yang sempit dan intoleran. Keberagaman adalah kekuatan, bukan ancaman. Dengan kembali pada nilai-nilai dasar agama dan menjunjung tinggi prinsip Bhinneka Tunggal Ika, kita dapat menjaga harmoni sosial dan membangun masa depan yang lebih baik.
Saatnya kita bertanya pada diri sendiri: apakah kita ingin menjadi bangsa yang tercerai-berai karena intoleransi, atau bangsa yang maju karena menghormati keberagaman? Pilihan ada di tangan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H