"Mas, itu bukan tempat duduk untuk penumpang. Mas harusnya duduk di depan."
"Aah, ayok cepat!" Ia turun dari jok dan pindah ke kursi penumpang di depan.
Aku langsung menggenjot pedal becak. Waktu istirahatnya terpaksa harus ditunda. Pria itu tidak memperdulikan kondisinya sama sekali. Mobilnya saja ia tinggalkan begitu saja. Sepertinya, yang ia pikirkan hanyalah meeting di kantor yang katanya penting itu.
Becak mulai melaju. Mencengkeram aspal jalan. Puluhan kendaraan bermesin canggih saling berlaga menunjukkan kebolehannya. Satu-dua menyalip cepat. 'Mesin' pendorong becak satu-satunya hanyalah kakiku. Menjadi penarik becak memang butuh tenaga kaki yang kuat. Fisik dan juga stamina yang bagus. Sudah lama aku mengikuti program latihan di gym. Tetanggaku yang merekomendasikan ke sana. Kutahu usiaku memang tidak muda lagi. Namun, itu salah satu cara ampuh agar aku bisa menjadi penarik becak yang profesional. Aku sering datang untuk melatih betis-betis kakiku yang sudah mulai melemah ini. Selain itu, aku juga melatih kardiovaskuler agar ketika mengayuh dengan jarak yang jauh, bisa lebih mudah mengatur napasnya.   Â
Sejak lahir, aku sudah dibelikan sepeda oleh bapak. Hingga, aku bisa mengendarai sepeda sebelum usiaku genap empat tahun.
"Tolong percepat kayuhannya!" Suruh pengemudi itu.
Padahal Mak Ijah sudah mengerahkan segenap tenaganya.
"Ayok cepat Mak, nanti saya bisa terlambat ini."
Mak Ijah terus berusaha mengayuh sekuat tenaga. Kecepatan becak hanya bertambah sedikit. Pengendara itu makin kesal.
"Pokoknya Mak harus bertanggung jawab atas semua kerugian saya."
Mak Ijah tidak membalas. Pikirannya masih fokus menggenjot pedal becaknya.