Mohon tunggu...
Yasier Fadilah
Yasier Fadilah Mohon Tunggu... Penulis lepas -

Seorang penulis amatir yang masih belajar meramu kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Sepuluh Ribu Kayuhan

1 April 2017   14:28 Diperbarui: 1 April 2017   23:00 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tema: Perjuangan mak Ijah menjadi pengayuh becak.

Pesan:

Perjuangan berlaku bagi siapa saja

Usia boleh tua, tapi semangat tetap muda

Jika yang sudah berumur dan wanita saja bisa, kenapa kita yg muda tidak?

Perjuangan tidak akan mengkhiatai hasil

Konflik:

Ada penumpang orang besar

Mengantarkannya ke tempat meeting

Adegan:

Nenek sedang mengayuh becaknya

Aku masih kuat mengayuh pedal becak ini. Otot-otot betisku sudah lumayan terlatih dan kuat. Jalanan sudah seperti tempatku 'bermain'. Kaos panjangku selalu basah diguyuri keringat. Dan, topi kerucutku hanya berhasil melindungi bagian kepala saja.

Apes! Sejak pagi, hanya ada satu orang yang menaiki becak ini. Tapi, apa yang kukerjakan, itulah yang kuperjuangkan. Aku, penarik becak wanita satu-satunya di pangkalan ini. Sekaligus menjadi sesepuh bagi yang lainnya. Aku enggan pensiun. Mereka pun tidak mau jika aku pensiun. 

Rasanya ingin sekali mengistirahatkan badan dan menyelonjorkan kaki barang sejenak.

Sreet .... Sekelebat, sebuah mobil melaju cepat dan menyerempet roda becakku. Aku berputar-putar di atas jok seperti pemain akrobatik. Tanganku berusaha mencengkeram kuat setir becak. Setelah beberapa kali berputar, tiba-tiba putarannya berhenti. Alhamdulillah, becakku kembali ke posisi semula. Jantungku seperti berhenti berdetak sesaat. pandanganku bias seketika. Mobil itu tampak membanting setir ke samping kanan, sehingga tidak membuatku terpental jauh. Namun, mobil itu terperosok ke semak-semak.

Kap mobilnya mengepulkan asap. Sejurus kemudian, pintu mobilnya terbuka. Seorang pria merangkak keluar dari dalam mobilnya. Dahinya basah oleh cairan amis berwarna merah.

Ia berhenti, Lalu merebahkan badannya di atas hamparan rumput.

Aku turun dari becak dan mengulurkan tangan, berusaha menolongnya.

"Tidak usah. Akumasih bisa bangun sendiri. Kalo bawa becak hati-hati dong," pria itu mendengus kesal.

"Maafkan saya mas."

"Argh, pokoknya Mak harus ganti rugi. Tapi ... mak harus antar saya dulu ke kantor, karena saya ada meeting yang sangat penting dengan klien."

Aku tidak tahu harus memberikan respon apa. Pria itu bangun dan berjalan terseok-seok menghampiri becakku. Kemudian ia duduk di jok belakang.

"Mas, itu bukan tempat duduk untuk penumpang. Mas harusnya duduk di depan."

"Aah, ayok cepat!" Ia turun dari jok dan pindah ke kursi penumpang di depan.

Aku langsung menggenjot pedal becak. Waktu istirahatnya terpaksa harus ditunda. Pria itu tidak memperdulikan kondisinya sama sekali. Mobilnya saja ia tinggalkan begitu saja. Sepertinya, yang ia pikirkan hanyalah meeting di kantor yang katanya penting itu.

Becak mulai melaju. Mencengkeram aspal jalan. Puluhan kendaraan bermesin canggih saling berlaga menunjukkan kebolehannya. Satu-dua menyalip cepat. 'Mesin' pendorong becak satu-satunya hanyalah kakiku. Menjadi penarik becak memang butuh tenaga kaki yang kuat. Fisik dan juga stamina yang bagus. Sudah lama aku mengikuti program latihan di gym. Tetanggaku yang merekomendasikan ke sana. Kutahu usiaku memang tidak muda lagi. Namun, itu salah satu cara ampuh agar aku bisa menjadi penarik becak yang profesional. Aku sering datang untuk melatih betis-betis kakiku yang sudah mulai melemah ini. Selain itu, aku juga melatih kardiovaskuler agar ketika mengayuh dengan jarak yang jauh, bisa lebih mudah mengatur napasnya.     

Sejak lahir, aku sudah dibelikan sepeda oleh bapak. Hingga, aku bisa mengendarai sepeda sebelum usiaku genap empat tahun.

"Tolong percepat kayuhannya!" Suruh pengemudi itu.

Padahal Mak Ijah sudah mengerahkan segenap tenaganya.

"Ayok cepat Mak, nanti saya bisa terlambat ini."

Mak Ijah terus berusaha mengayuh sekuat tenaga. Kecepatan becak hanya bertambah sedikit. Pengendara itu makin kesal.

"Pokoknya Mak harus bertanggung jawab atas semua kerugian saya."

Mak Ijah tidak membalas. Pikirannya masih fokus menggenjot pedal becaknya.

Setelah menempuh jarak yang cukup jauh, akhirnya mereka tiba di tempat kantor pengemudi itu. Pengemudi itu bangun dari becak. Tangannya masih memegangi dahinya yang berdarah. Mak Ijah terkulai lemas di atas jok kemudinya.

"Mak jangan kemana-kemana dulu. Setelah selesai meeting, Mak harus ganti rugi ke saya."

Mak Ijah masih terkulai lemas. Keringatnya bercucuran betisnya melemah.

 

Ketika turun dari kantor ada orang yg menyambar tas orang itu

Si nenek menolongnya dengan kemampuan beladiri yg dimilikinya

Bapak itu malah marah lagi

Bapak itu masuk untuk rapat

Nenek itu pergi tanpa mendapat bayaran

Rule of three:

Set up:

Punchline:

Pengulangan, pos-neg

- sekali mengayuh tidak akan cukup. Karena itu sama saja diam. Dua kali mengayuh tidak akan cukup. Karena dua itu bilangan yang tanggung. Tapi sekali mengayuh sudah cukup, ketika terus dilakukan berulang-ulang. Otomatis dua kali mengayuh yang dilakukan berulang-ulang sudah lebih dari cukup..

Positif negatif

- ia hanyalah seorang nenek. Tapi semangatnya melebihi para pemuda.

- perjuangan itu mahal. Tapi kita bisa membelinya dengan kerja keras.

Analogi

- Mengayuh becak itu seperti belajar. Jika pemumpangnya pas, maka akan lebih ringan mengayuh atau meraihnya. Tapi, jika penumpangnya melebihi kapasitas, maka harus pakai usaha ekstra.

- penarik becak menerapkan prinsip seperti Tut Wuri Handayani. Dari belakang memberi dorongan.

 

Bertingkat, pengulangan

-

Kutipan

-

Data

- 

Contoh

- Contoh

Retoris

- Bukankah tak ada yang tak mungkin?

- Bukankah kamu masih muda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun