Empat orang yang memakai rompi senada berjalan cepat ke arah pintu kantor sekolahku. Dua orang dari mereka memegang kamera dan dua orang lainnya membawa catatan kecil beserta pulpen. Aku berdiri di samping lapangan sekolah dengan penuh rasa penasaran.
Sebenarnya ada apa?
Pak Kepsek yang baru keluar dari kantor, langsung dikerumuni oleh orang-orang tadi. Mereka saling berebut menanyakan sesuatu kepadanya.
Semua siswa yang ada di lapangan, berlarian ingin tahu. Sedangkan aku masih bertahan di pinggir lapangan.
'Pluk' Seseorang menepuk pundakku dari belakang.
Aku menengok kaget.
"Eh, Pak Sugiman. Ada apa pak?"
"Ayo ikuti saya." ucapnya dengan suara berat, seperti Toro Margens.
Ia kemudian berlari melewati kelas dan lorong aula sekolah.
"Memangnya ada apa pak?" tanyaku sambil berlari mengikuti pergerakan Pak Sugiman yang cepat. Tapi ia tidak menjawab pertanyaanku.
Pak Sugiman adalah penjaga sekolahku yang baru. Aku tidak kenal dekat dengannya. Ia selalu muncul dan hilang tiba-tiba. Tapi, semenjak ia resmi menjabat sebagai penjaga sekolah, tidak ada lagi murid-murid yang melompati tembok saat jam pelajaran berlangsung. Sekolah menjadi aman dan kondusif. Karena Ia selalu memergoki mereka yang coba-coba melompat. Pergerakannya yang cepat itu seperti tokoh dalam serial TV Superhero: The Flash.
Terlihat sekali dari kecepatan larinya sekarang. Aku kalang kabut mengimbangi kecepatannya.
Ia memperlambat kecepatan larinya. Lalu berbelok masuk ke ruangan kelasku. Ternyata, di dalam sudah ada dua orang teman yang kukenal: Budi dan Wati.
"Sebenarnya ada apa pak?" tanyaku masih penasaran.
"Ceritanya panjang. Coba kamu duduk dulu sama teman-temanmu." jawabnya dengan suara berat.
Aku mengiyakan permintaannya.
"Jadi begini, suasana di sekolah sedang kacau."
"Maksudnya apa pak? Saya gak ngerti." Budi tampak antusias.
"Sekolah kita mengalami masalah ...."
"Eh eh, masalah apa pak?!" Wati yang latah sedikit terkaget.
"Sejak tahun 2013, struktur kepengurusan di sekolah ini menjadi kacau. Ada pihak yang ingin berkuasa. Kalian pasti tahu kan, kalau penjaga sekolah di sini selalu berganti-ganti tanpa alasan yang jelas?"
"Lalu, apa tujuan orang-orang tadi datang ke sekolah kita?" tanya Budi makin antusias.
"Hmm ... sepertinya mereka tahu tentang masalah ini."
Aku hanya terdiam, bingung, dengan arah pembicaraan Pak Sugiman. Aku paling tidak suka dengan masalah seperti ini. Sama tidak sukanya ketika mendengar berita bahwa uang-uang negara digondol orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Ibarat uang tabungan. Tinggal gesek langsung cair. Setelah cair dipakai pelesir. Setelah pelesir ketar-ketir.Â
"Besok, pasti saya menjadi penjaga sekolah ketujuh yang dikeluarkan oleh pihak sekolah. Karena, kemarin saya bicara langsung ke pihak sekolah tentang ketidaksetujuan saya dengan kebijakannya, yang akan memberlakukan biaya SPP tiga kali lipat lebih tinggi." jelas Pak Sugiman.
"Belakangan ini, proses pembelajaran di sini memang tidak berjalan lancar Pak." kataku sambil mencerna inti permasalahan ini.
"Itu yang saya maksud. Kalian anak-anak yang pintar. Saya hanya ingin berpesan, agar kalian bisa menularkan kepintaran kalian kepada teman-teman yang lainnya. Mulai besok, kemungkinan proses belajar mengajar akan tersendat."
Pak Sugiman melirik jam di tangannya.
"Maaf, saya tidak bisa lama-lama." kata Pak Sugiman dengan wajah rusuh.
Teeeeet ... Bel masuk berbunyi. Pak Sugiman bergegas keluar kelas. Murid-murid yang lain masuk satu per satu.
Semua murid berbondong-bondong pulang. Empat orang yang mewawancarai Pak Kepsek tadi masih berkumpul di dekat gerbang. Raut wajahnya muram. Sepertinya masalah ini belum selesai.Â
Aku tidak melihat keberadaan Pak Sugiman. Dia memang selalu mengilang tiba-tiba. Tapi, jam segini, biasanya ia stand by di samping gerbang bersiap menutup gerbangnya. Pintu kantor juga masih tertutup. Sementara kelas-kelas dan lorong-lorong sekolah sudah lengang. Tidak ada suara-suara murid. Hanya terdengar suara gemericik air mancur di depan kantor.
Aku iseng melihat keadaan di dalam kantor melalui kaca jendela yang sedikit terbuka. Terlihat Pak Kepsek berdiri di depan dengan wajah cemas. Semua jajaran dan staf sekolah yang lainnya duduk rapi di kursinya masing-masing. Ruangannya seperti berselimut kabut hitam.Â
Aku masih penasaran dengan perkataan Pak Sugiman tadi. Aku berniat pergi mencari rumahnya bersama Budi dan Wati. Ingin menggali informasi lebih banyak. Berkat petunjuk dari Bibi Kantin, kami bertiga berhasil menemukan lokasi rumah Pak Sugiman yang kebetulan tidak terlalu jauh dari sekolah.
Alamatnya benar. Ciri-ciri rumahnya juga benar. Tapi banyak orang yang membaca buku di sekeliling rumahnya. Ada yang membaca di teras, ada juga yang membaca di kursi kayu. Rumahnya mirip seperti perpustakaan. Ah, aku makin penasaran.
Di dekat pintu masuk rumahnya, tampak Pak Sugiman sedang duduk bersandar ke tembok. Di depannya ada beberapa orang yang sedang mendengarkannya berbicara. Tangannya memegang kamus tebal Oxford Advance Dictionary.
"Assalamu'alaikum, Pak Sugiman."
"Wa'alaikumsalam. Eh, kalian. Kenapa bisa ada di sini?"Â
"Maafkan kami pak telah lancang membuntuti bapak, sampai tiba di perpustakaan ini. Eh, maksudnya rumah bapak."
"Iya. Tidak apa-apa. Beginilah keadaan rumah saya."
Tiap sisi rumahnya disesaki rak-rak besar berjejer rapi, yang berisi berbagai macam buku bacaan. Persis seperti perpustakaan.
"Rumah bapak mirip sekali dengan perpustakaan."
"Ya, ini adalah rumah, sekaligus tempat belajar untuk siapa saja yang ingin belajar secara cuma-cuma. Buku-buku di sini saya kumpulkan sejak SMP. "
"Maksudnya, bapak mengajar di sini?"
"Ya, kurang lebih begitu. Hanya ini kemampuan yang saya miliki."
"Oh, kalau boleh tahu bapak pernah kuliah atau ...."
"Saya pernah kuliah. Saya juga pernah menjadi pengajar."
"Tapi kenapa bapak bisa menjadi penjaga sekolah?"
"Hmm ... sebenarnya, saya pernah menjadi pengajar di sana. Tapi setelah orang itu datang, saya harus lengser secara tidak hormat. Setelah itu saya melamar kembali menjadi penjaga sekolah. Saya ingin membuat semua murid belajar dengan baik. Meskipun sebagai penjaga sekolah."
"Orang itu? Maksudnya siapa pak?"
"Nanti juga kalian tahu. Cepat atau lambat, sekolah itu akan disita karena hutangnya sudah membengkak, sementara biaya sekolahnya diselewengkan oleh orang itu."
Beberapa saat kemudian, terdengar suara gaduh dari luar rumah. Orang-orang yang memakai rompi senada tadi sudah ada di depan rumah Pak Sugiman.
"Andi, Budi dan Wati, untuk sementara waktu, saya titipkan rumah belajar ini kepada kalian. Semoga kalian bisa menjadi penjaga dan penebar ilmu."
Pak Sugiman berdiri, lalu pergi keluar dengan gontai.
Orang-orang itu tampak antusias melontarkan pertanyaan demi pertanyaan kepada Pak Sugiman.
Setelah itu, Pak Sugiman pergi bersama mereka, entah ke mana.
Aku hendak menghampirinya. Tapi, tangannya menahanku. Terpaksa aku membiarkannya pergi bersama keempat orang itu.
"Jadi, kita harus menggantikan Pak Sugiman mengajar di sini?" Kami bertanya serempak.
Tiba-tiba aku teringat kutipan Ki Hadjar Dewantara di buku LKS Sejarah kelas 10, "Setiap orang harus menjadi pengajar. Setiap rumah menjadi sekolah."
Apakah ini yang dimaksud Ki Hadjar Dewantara? Bukankah itu hanya kata kiasan? Apa yang bisa kuperbuat sekarang? Apa mungkin aku mengajar di sini? Apakah sekolah benar-benar akan disita? Kenapa oh kenapa?Â
Aku hanyalah anak ingusan yang beranjak dewasa. Pemahaman tentang pendidikan yang ada di benakku hanyalah tentang belajar dan belajar. Itu saja. Aku sama sekali tidak pernah memikirkan biaya atau fasilitas-fasilitas lainnya. Bagiku, belajar adalah hak setiap orang dari sabang sampai merauke. Dari anak-anak sampai Nenek dan kakek. Dari yang berduit sampai yang (maaf) bokek. Sesederhana itu. Namun, nyatanya lebih kompleks.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H