Anak-anak dewasa ini, tidak lagi memahami nilai-nilai luhur  yang membentuk kepribadian dan jati diri manusia Sulawesi Selatan. Sedangkan kita menghendaki, agar generasi mendatang memiliki kepribadian dan karakter yang kuat, sehingga mampu mentransformasi berbagai aspek lokalitasnya untuk beradaptasi dengan kebudayaan global. Oleh karena itu, perlu dirumuskan kembali  proses pembelajaran di sekolah. Inisiasi pelajaran tentang nilai-nilai luhur kearifan lokal kita, harus dilakukan sejak dini.  Tujuannya, agar generasi mendatang, lebih memiliki rasa cinta dan rasa memiliki pada lokalitas mereka, sehingga tidak kehilangan kepribadian dan jati diri di tengah pergaulan kehidupan global.
Untuk maksud tersebut, ada dua pendekatan yang dapat ditempuh, yaitu revitalisasi dan transformasi. Pertama, Revitalisasi dilakukan terhadap nilai-nilai kearifan lokal yang sudah cenderung ditinggalkan, padahal, secara kontekstual masih sangat diperlukan. Misalnya, kebersamaan, tolong-menolong, dan kegotongroyongan, perlu direvitalisasi dalam rangka penguatan dan pengembangan ekonomi kerakyatan.
Kedua, transformasi terhadap nilai-nilai kearifan lokal yang sudah tidak kontekstual. Misalnya, budaya siri pada konteks silariang, sudah dipandang sebagai hal yang kontra produktif pada konteks kekinian. Oleh karena itu, budaya siri perlu ditransformasi kepada hal lain. Misalnya, manusia Sulawesi Selatan harus merasa masiri jika hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan.
Revitalisasi dan atau transformasi terhadap nilai-nilai kearifan lokal itu, sudah harus diajarkan kepada anak-anak sejak dini, baik secara formal maupun informal. Pembelajaran tentang Muatan Lokal (Mulok) yang ada di Sekolah Dasar (kalau masih ada), perlu di-endorse- dengan merevitalisasi dan atau  mentransformasi nilai-nilai yang dimaksud. Para ahli pendidikan perlu didorong untuk mengambil tanggung jawab merumuskannya.
Selain itu, Gerakan Membangun Kampung dapat pula dilihat sebagai tesis "perlawanan". Frasa "Ekonomi Kerakayatan" dan "Kearifan Lokal", keduanya memiliki semangat dan nilai yang berada posisi berbeda secara diametral terhadap kapitalisme dan modernitas. Â Ekonomi kerakyatan yang mewujud pada usaha koperasi, misalnya, dapat menjadi solusi bagi pemecahan problem kesenjangan yang diciptakan oleh sistem konglomerasi sebagai wujud ekonomi kapitalis.
Demikian pula dengan nilai-nilai kearifan lokal yang semakin tergerus oleh modernitas. Ia tetap diperlukan agar tetap hidup sebagai penjaga sisi-sisi kemanusiaan manusia Sulawesi Selatan modern, agar tidak kehilangan jati diri sebagai manusia. Konon, bushido di Jepang masih tetap hidup lestari hingga kini. Artinya, manusia Jepang tetap disebut manusia modern tanpa harus kehilangan nilai-nilai kearifan lokalnya.
Selebihnya, "Gerakan Membangun Kampung" Â NH - AZIZ, mengingatkan penulis pada "Gerakan Desa Kepung Kota" Mao Tze Tung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H