Mohon tunggu...
Yarifai Mappeaty
Yarifai Mappeaty Mohon Tunggu... Penulis - Laki

Keterampilan menulis diperoleh secara otodidak. Sejak 2017, menekuni penulisan buku biografi roman. Buku "Sosok Tanpa Nama Besar" (2017) dan "Dari Tepian Danau Tempe (2019).

Selanjutnya

Tutup

Politik

Membedah Tagline "Gerakan Membangun Kampung"

9 Maret 2018   15:50 Diperbarui: 9 Maret 2018   16:09 1060
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

MEMBEDAH TAGLINE " GERAKAN MEMBANGUN KAMPUNG"

Oleh : Yarifai Mappeaty

Di Sulawesi Selatan, gerakan membangun kampung adalah sebuah tagline dari salah satu Pasangan Calon Gubernur Sulawesi Selatan 2018 - 2023, NH - AZIZ, akronim Nurdin Halid - Aziz Qahhar. Frasa "bangun kampung" pada saat-saat awal dilontarkan ke publik, terkesan "tidak dianggap". Bahkan cara pandang milenial melihatnya sebagai gagasan "rendah". Tetapi seiring berjalannya waktu, frasa bangun kampung semakin popular sehingga menarik berbagai kalangan untuk  membincangnya.

Entah, dari mana gagasan itu muncul menginspirasi, khususnya,  Nurdin Halid (NH), lalu menjadikannya tagline. Boleh jadi NH yang bermukim di Jakarta, memaknai keikutsertaannya pada Pilgub Sulsel sebagai keputusan pulang kampung untuk mengabdikan sisa-sisa hidupnya untuk membangun kampung halamannya.

Bisa juga terinspirasi oleh sumber lain. Setidaknya, terdapat satu yang bisa dirujuk. "Sosok Tanpa Nama Besar", sebuah buku semi biografi Nurdin Halid yang ditulis sendiri oleh Penulis. Di dalamnya, diksi "kampung" dan "pulang", beberapa kali disebut, khususnya pada judul pertama dan terakhir. "Bangga Sebagai Anak Kampung" dan  "Kembali Demi Sulsel". Beberapa orang yang sempat membaca buku itu menilai,   bahwa kedua tulisan itulah "dituduh" menginspirasi "Gerakan Membangun Kampung" NH - AZIZ.

Tetapi, pada konteks ini tidak terlalu penting membincang dari mana sumber inspirasi Nurdin Halid. Karena ia bisa memperolehnya dari mana saja. Apalagi ia memang rajin berkunjung ke berbagai negara berkembang yang relatif lebih maju di berbagai belahan dunia. Justeru yang lebih menarik adalah membedah "Gerakan Membangun Kampung" itu sebagai sebuah konsep pembangunan. Sebab keliru kalau sampai ada yang melihatnya sebagai sebuah gagasan rendah yang "kampungan". Padahal, ia sebuah konsep besar.

Secara sederhana, kampung dapat didefinisikan sebagai daerah pemukiman yang terdapat di luar kota. Dalam wikipedia Bahasa Indonesia, kampung disebut juga sebagai sinonim dari desa. Sepintas, kota dan kampung tampak sebagai dua entitas yang berdiri sendiri. Tetapi hakekatnya, pada skala yang lebih luas, keduanya merupakan  satu kesatuan dalam suatu hubungan yang saling mempengaruhi satu sama lain. Misalnya, Sulawesi Selatan dapat dimaknai sebagai sebuah "kampung",  jika dilihat dari Jakarta. Padahal, di sana ada kota besar dan beberapa kota lainnya.

Dalam teori-teori pembangunan, khususnya pembangunan wilayah dan pembangunan masyarakat, tidak jarang ditemukan frasa yang bersifat dikotomis, yaitu, pusat dan pinggiran. Kota disebut pusat, sedangkan kampung disebut pinggiran. Begitu pula narasi tentang kemajuan dan kesejahteraan yang mewakili entitas kota versus keterbelakangan dan kemiskinan yang mewakili entitas kampung.

Pada realitasnya, pembangunan selama ini memang hanya  berfokus pada daerah perkotaan. Hal ini membuat pusat pertumbuhan ekonomi hanya terjadi di daerah perkotaan. Kota terus mengalami kemajuan, sementara desa/kampung semakin jauh tertinggal, miskin dan terbelakang.  Hal ini kemudian mendorong terjadinya migrasi penduduk dari kampung ke kota yang disebabkan oleh tidak adanya sumber-sumber ekonomi baru di kampung. Akibatnya, kota pun mengalami tekanan urbanisasi yang tak terelakkan. Dan pada gilirannya, kota terpaksa harus menanggung dampak sosial negatif yang ditimbulkan oleh urbanisasi itu.

Dalam rangka mengurangi tekanan urbanisasi tersebut, pembangunan harus digeser keluar dari daerah perkotaan ke daerah pinggiran. Inilah yang disebut membangun dari pinggiran. Tujuannya ialah menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru di daerah pinggiran. Pertumbuhan ini diharapkan dapat mendorong munculnya sumber-sumber ekonomi baru di daerah-daerah pinggiran. Implementasi pembangunan model ini pada akhirnya memberikan pengaruh langsung terhadap distribusi pertumbuhan dan pendapatan yang lebih merata, serta dapat mengurangi kesenjangan antar wilayah.

Selain itu, pembangunan daerah pinggiran dalam jangka panjang, tidak hanya menekan laju urbanisasi, tetapi juga  dapat mengurai dampak sosial urbanisasi yang terjadi di kota. Pemahaman ini dengan sendirinya akan menghapus cara pandang dikotomis, yang secara latah melihat kota  kampung sebagai entitas yang berdiri sendiri. Dengan demikian, frasa membangun dari pinggiran adalah nama lain membangun dari kampung. Sehingga konsepsi gerakan membangun kampung pada hakekatnya adalah konsep pembangunan ekonomi yang bertujuan menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru di kampung yang kaya akan potensi sumber daya alam.

Mengikuti kerangka pikir di atas, maka Gerakan Membangun Kampung yang dicetuskan oleh NH  AZIZ, pada akhirnya  dipahami sebagai konsep membangun Sulawesi Selatan secara menyeluruh dari pinggiran.  Konsep ini ditawarkan sebagi solusi strategis bagi pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, kesenjangan pertumbuhan dan pendapatan antar wilayah, yang merupakan masalah utama bagi Sulawesi Selatan. Konsep ini bertujuan  membangun pusat-pusat pertumbuhan dan mendorong munculnya sumber-sumber ekonomi baru di kampung-kampung melalui optimalisasi pengelolaan sumber daya alam yang ada.

Konsep gerakan membangun kampung, dirancang sedemikian  sesuai kondisi Sulawesi Selatan dengan bertumpu kepada  3 (tiga) aspek yang disebut Trikarya Pembangunan, yaitu, Pembangunan berbasis infrastruktur; Pembangunan berbasis ekonomi kerakyatan; dan Pembangunan sumber daya manusia berbasis kearifan lokal.

Pembangunan Berbasis Infrastruktur

Sebagaimana disinggung di atas bahwa masalah utama Sulawesi Selatan yang paling menonjol adalah faktor kesenjangan. Kesenjangan itu bukan hanya menyangkut kesenjangan pendapatan semata, tetapi juga menyangkut kesenjangan pembangunan infrastruktur antar wilayah, terutama wilayah kota dan kampung. Ketersediaan infrastruktur di wilayah kampung masih jauh dari memadai. Hal ini  membuat pertumbuhan ekonomi terasa sangat lamban, bahkan mengalami stagnasi selama bertahun-tahun. Kampung-kampung di Sulawesi Selatan masih membutuhkan infrastruktur jalan  jembatan, listrik, pelabuhan laut dan udara, dalam rangka mendukung investasi serta memperlancar mobilisasi pengangkutan komoditi dan pergerakan manusia untuk mendukung gerak laju perekonomian.

Pengembangan sektor agro yang dipandang sebagai sektor yang paling berpotensi menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan, ketika mengalami penyempitan ruang pertumbuhan, mustahil dapat dioptimalkan karena dukungan infrastruktur pertanian belum memadai, seperti infrastruktur bendungan dan  irigasi. Lebih dari pada itu, transformasi sektor ini menuju agroindustri dan agrobisnis sebagaimana diharapkan  menjadi basis perekonomian Sulawesi Selatan di masa depan, akan sulit diwujudkan jika ketersediaan infrastruktur sumber daya listrik dan infrastruktur perekonomian lainnya masih terbatas.

Selain itu, kesenjangan juga terjadi pada ketersediaan infrastruktur pengembangan sumber daya manusia. Sedangkan realitasnya, kualitas sumber daya manusia di kampung, memang  sangat jauh tertinggal.  Padahal kita menyadari bahwa untuk mengakselerasi pembangunan di kampung, kita membutuhkan sumber daya manusia yang terdidik, tercerahkan dan sehat jasmani dan rohani.  Untuk itu, pembangunan sektor pendidikan, kesehatan, dan keagamaan tetap harus dikedepankan, paralel dengan pembangunan ekonomi. Itu sebabnya, pembangunan infrastruktur pendidikan, kesehatan dan keagaaman, merupakan anasir penting dalam Gerakan Membangun Kampung NH - AZIZ.

Pembangunan Berbasis Ekonomi Kerakyatan

Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan yang demikian tinggi tetapi indeks gini rasio juga tinggi, memberi gambaran bahwa sedang terjadi ketidakadilan di dalam pembangunan ekonomi Sulawesi Selatan. Pertumbuhan ekonomi Sulsel saat ini,   realitasnya hanya  menghasilkan sekelompok kecil orang kaya, namun sebagian besar dari masyarakat tetap dalam keadaan miskin. Hal ini menunjukkan  betapa pembangunan ekonomi Sulawesi Selatan berjalan mengikuti ciri ekonomi yang kapitalistik.  Padahal, seharusnya pembangunan itu memberi manfaat yang sebesar-besarnya kepada masyarakat seluas-luasnya, sesuai amanat konstitusi.

Oleh karena itu,  pembangunan ekonomi Sulawesi Selatan yang dikonsepsikan dalam Gerakan Membangun Kampung adalah pembangunan ekonomi yang berbasis pada ekonomi kerakyatan. Untuk maksud tersebut, maka gerakan koperasi dan pengembangan badan usaha milik desa (BUMDES) harus didorong untuk terus tumbuh dan berkembang, agar lembaga ekonomi koperasi dan BUMDES sebagai lembaga ekonomi rakyat, dapat lebih berperan aktif sehingga menjadi pelaku usaha dominan di tengah masyarakat.

Pembangunan Sumber Daya Manusia Berbasis Kearifan Lokal

Manusia Sulawesi Selatan adalah manusia yang memiliki kepribadian dan jati diri yang unik dan khas. Kepribadian dan jati diri itu, terbangun dari nilai-nilai kearifan lokal yang berlangsung secara turun-temurun. Sedangkan Nilai-nilai kearifan lokal itu bersumber dari aspek budaya dan agama yang telah dianut oleh masyarakat Sulawesi Selatan selama ratusan tahun. Nilai-nilai kearifan lokal tersebut, telah lama tergerus oleh moderninsasi sistem pendidikan nasional kita, yang telah berlangsung selama puluhan tahun.

Anak-anak dewasa ini, tidak lagi memahami nilai-nilai luhur  yang membentuk kepribadian dan jati diri manusia Sulawesi Selatan. Sedangkan kita menghendaki, agar generasi mendatang memiliki kepribadian dan karakter yang kuat, sehingga mampu mentransformasi berbagai aspek lokalitasnya untuk beradaptasi dengan kebudayaan global. Oleh karena itu, perlu dirumuskan kembali  proses pembelajaran di sekolah. Inisiasi pelajaran tentang nilai-nilai luhur kearifan lokal kita, harus dilakukan sejak dini.  Tujuannya, agar generasi mendatang, lebih memiliki rasa cinta dan rasa memiliki pada lokalitas mereka, sehingga tidak kehilangan kepribadian dan jati diri di tengah pergaulan kehidupan global.

Untuk maksud tersebut, ada dua pendekatan yang dapat ditempuh, yaitu revitalisasi dan transformasi. Pertama, Revitalisasi dilakukan terhadap nilai-nilai kearifan lokal yang sudah cenderung ditinggalkan, padahal, secara kontekstual masih sangat diperlukan. Misalnya, kebersamaan, tolong-menolong, dan kegotongroyongan, perlu direvitalisasi dalam rangka penguatan dan pengembangan ekonomi kerakyatan.

Kedua, transformasi terhadap nilai-nilai kearifan lokal yang sudah tidak kontekstual. Misalnya, budaya siri pada konteks silariang, sudah dipandang sebagai hal yang kontra produktif pada konteks kekinian. Oleh karena itu, budaya siri perlu ditransformasi kepada hal lain. Misalnya, manusia Sulawesi Selatan harus merasa masiri jika hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan.

Revitalisasi dan atau transformasi terhadap nilai-nilai kearifan lokal itu, sudah harus diajarkan kepada anak-anak sejak dini, baik secara formal maupun informal. Pembelajaran tentang Muatan Lokal (Mulok) yang ada di Sekolah Dasar (kalau masih ada), perlu di-endorse- dengan merevitalisasi dan atau  mentransformasi nilai-nilai yang dimaksud. Para ahli pendidikan perlu didorong untuk mengambil tanggung jawab merumuskannya.

Selain itu, Gerakan Membangun Kampung dapat pula dilihat sebagai tesis "perlawanan". Frasa "Ekonomi Kerakayatan" dan "Kearifan Lokal", keduanya memiliki semangat dan nilai yang berada posisi berbeda secara diametral terhadap kapitalisme dan modernitas.  Ekonomi kerakyatan yang mewujud pada usaha koperasi, misalnya, dapat menjadi solusi bagi pemecahan problem kesenjangan yang diciptakan oleh sistem konglomerasi sebagai wujud ekonomi kapitalis.

Demikian pula dengan nilai-nilai kearifan lokal yang semakin tergerus oleh modernitas. Ia tetap diperlukan agar tetap hidup sebagai penjaga sisi-sisi kemanusiaan manusia Sulawesi Selatan modern, agar tidak kehilangan jati diri sebagai manusia. Konon, bushido di Jepang masih tetap hidup lestari hingga kini. Artinya, manusia Jepang tetap disebut manusia modern tanpa harus kehilangan nilai-nilai kearifan lokalnya.

Selebihnya, "Gerakan Membangun Kampung"  NH - AZIZ, mengingatkan penulis pada "Gerakan Desa Kepung Kota" Mao Tze Tung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun