Mohon tunggu...
Yaqub Walker
Yaqub Walker Mohon Tunggu... Petualang -

Seorang petualang alam dan pemikir yang kadang mencoba menulis sesuatu.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pancasila Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia (Sebuah Antitesis)

12 Juni 2017   22:12 Diperbarui: 12 Juni 2017   22:19 29517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sastrawan Jerman abad ke-18, Johann Wolfgang von Goethe mengkritisi praktik toleransi pasif seperti yang dirumuskan dalam  dokumen klasik tentang toleransi bernama Edik Nantes (The Edict of Nantes). Dokumen yang berasal dari tahun 1958 ini merupakan salah satu catatan historis terpenting dan tertua tentang toleransi. Maklumat ini disusun guna mengakhiri peperangan antara Gereja Katolik Roma dan Gereja Protestan yang melanda Eropa pada abad ke-16 dan 17. Salah satu petikan dokumen tersebut berbunyi, “Agar tidak menjadi alasan konflik dan kegaduhan di antara warga masyarakat, maka kami telah dan akan mengizinkan para penganut agama reformis untuk hidup dan tinggal di semua kota dan tempat di kerajaan kami ini, di mana mereka tidak merasa dikejar atau ditekan, dilecehkan dan dipaksa untuk melakukan sesuatu yang berlawanan dengan keyakinan suara hatinya.” Pada masanya, Goethe mengendus cacat dan ambivalensi toleransi versi Edik Nantes ini. Di satu sisi, penguasa memberikan jaminan keamanan dan kebebasan terbatas kepada kelompok minoritas, namun di sisi lain, jaminan tersebut tak lain dari praktik kekuasaan menindas yang terselubung bagi kelompok minoritas. 

Alasannya, kelompok minoritas harus membayar ketaatannya karena hidup mereka sangat bergantung pada kebaikan hati penguasa. Di samping itu mereka juga diperlakukan sebagai warga negara kelas dua. Bagi Goethe, praktik toleransi versi Edik Nantes adalah penghinaan terhadap kebebasan asasi manusia. Sebab toleransi di sini tidak dipahami sebagai hak, melainkan hadiah yang dimohonkan dari penguasa atau kelompok mayoritas, dan setiap saat dapat dicabut kembali jika kaum minoritas melanggar sejumlah ketentuan.

Menurut  Otto Gusti Madung, kualitas demokrasi di Indonesia yang plural sangat ditentukan oleh kualitas kebajikan toleransi yang berpijak pada prinsip hak, kebebasan dan kesetaraan. Karena itu, sudah saatnya beralih dari toleransi belas kasihan menuju paradigma hak. Bangsa Indonesia harus meninggalkan konsep toleransi pasif yang berbasiskan tradisi semata menuju toleransi otentik dengan penekanan pada persamaan hak antara kelompok mayoritas dan minoritas. Untuk kondisi masyarakat post-sekular di mana agama-agama secara empiris dan normatif berkiprah di ruang publik, saling menghormati merupakan sikap paling tepat dalam relasi antar agama, juga dalam relasi antara agama dan akal budi. Post-sekularisme memberi ruang agar terjadi proses saling belajar antara agama dan akal budi sekuler. Seperti pandangan Jurgen Habermas, akal budi tidak boleh bertindak sebagai hakim sepihak atas kebenaran-kebenaran religius, tapi bersedia mendengarkan klaim-klaim religius di ruang publik. Agar dapat didengar dan dipahami di ruang publik yang plural, para pemuka agama pun harus mampu menerjemahkan doktrin-doktrin agama ke dalam bahasa nalar publik. Di samping itu, agama dituntut untuk mengakui otoritas nalar dalam ilmu pengetahuan dan prinsip egalitarianisme universal dalam hukum dan moral.

Dengan kualitas refleksi yang seperti itu, agama-agama mampu meyampaikan gagasannya di ruang publik dan mengambil bagian dalam proses belajar yang berlangsung dalam konstelasi masyarakat post-sekular. Bahaya intoleransi dan fundamentalisme agama pun dapat dihindari dan ditolak atas nama nalar publik. Intoleransi dan fundamentalisme akan terkikis habis ketika agama mampu merumuskan gagasannya dalam bahasa nalar publik yang melampaui identitas aslinya yang pra-politis dan primordial, dan akhirnya ikut memberikan kontribusi dalam pembentukan solidaritas politis dan pascatradisional yang kokoh dalam sebuah masyarakat yang plural. Konsep post-sekularisme di rumuskan oleh Habermas dalam konteks negara liberal sekuler di mana peran agama di ruang publik sering tidak ditanggapi dengan serius oleh kalangan pemikir sekuler. Untuk konteks Indonesia, seruan ini tidak terlalu relevan sebab ruang publik politik kita sudah dikelilingi doktrin agama. Yang dibutuhkan di Indonesia ialah kesediaan agama-agama untuk mendengarkan hati nurani dan nalar publik agar agama dapat memancarkan humanitas dan bukan sebaliknya, yang mengorbankan kemanusiaan guna membela doktrin-doktrin agama secara membabibuta.

Akhir dari tulisan ini, saya menyatakan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, yaitu ketuhanan, perikemanusiaan, nasionalisme, demokrasi dan keadilan sosial itu sangat berkeselarasan dengan ajaran-ajaran agama. Dalam menyusun Pancasila, para pendiri negeri ini tentu sudah mempertimbangkannya dengan seksama dan bijaksana sehingga tidaklah mungkin menjerumuskan rakyatnya ke dalam ‘jurang kehancuran’ selama dipergunakan dengan semestinya. Kemudian saya sangat menyarankan untuk membaca secara utuh kedua buku yang idenya sudah dipaparkan ke dalam tulisan ini, karena tentunya semua yang tertuang di sini disertai segala keterbatasan saya di berbagai hal. Perlu diketahui bahwa buku pertama selesai ditulis pada tahun 1985 dengan menceritakan sejarah yang ada di Indonesia puluhan tahun yang lalu, sedangkan buku kedua ditulis oleh penulis muda dengan segala latar belakangnya, untuk itu saya berharap agar buku-buku itu dibaca secara komprehensif. Adapun dalam buku pertama banyak mengambil istilah dari penulis lain, yaitu Fazlur Rahman dan buku kedua juga banyak mengambil analisis dari tulisan Franz Magnis-Suseno, sehingga layak untuk kita membaca juga tulisan-tulisan lainnya sebagai sumber sekunder. Bagi saya, seluruh tulisan ini adalah sebuah antitesis dari beberapa hal yang terjadi belakangan ini di dalam masyarakat Indonesia yang semakin modern namun masih sulit menyesuaikan diri dengan kemodernan yang ada. Semoga kita tetap memiliki jiwa Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan tidak menyalahartikannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun