Banyak sekali cerita sejarah perjuangan politik Islam diterangkan dalam buku “Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara” ini. Sehingga saya tidak bisa menuliskannya satu per satu dikarenakan kekompleksan dan saling keterhubungan cerita yang untuk memahaminya harus membaca bukunya secara lengkap. Hal yang memicu gerakan politik Islam yang deras di Indonesia pada waktu itu adalah politik kolonial Belanda dan gerakan tandingan dari pihak komunis yang dinilai bisa membahayakan nasib umat beragama di Indonesia. Pada 1917, Agus Salim biasa menggunakan ungkapan simbolis tapi tajam dalam menyerang kolonialisme dan membela kemerdekaan. Baginya adalah suatu ironi bahwa orang Indonesia di tanah airnya seperti penumpang, dan itu berlangsung dalam tempo yang cukup lama. Namun, pihak komunis tampaknya lebih terus terang dan lebih fasih dalam propagandanya menentang kolonialisme dibandingkan tokoh-tokoh Sarekat Islam (SI). Pihak komunis ternyata lebih unggul dalam menaklukkan kaum intelektual maupun dalam mendekati massa. Sementara itu, dalam menanggapi isu tentang sosialisme yang begitu lantang disuarakan pihak komunis, H.O.S. Cokroaminoto agak sedikit apologetik, dengan mengatakan bahwa sosialisme Islam lebih awal dan lebih baik daripada sosialisme ciptaan Karl Marx, baik dalam teori maupun dalam praktik. Lebih jauh dikatakan bahwa gagasan-gagasan sosialisme sudah inheren dalam Islam. “Kita Muslim, jadi kita sosialis,” ucap Cokroaminoto. Agus Salim bahkan menegaskan bahwa keutamaan dalam prinsip-prinsip lain dapat dijumpai dalam Islam, sementara semua cacat-cacat, kesalahan-kesalahan dan keburukan-keburukan prinsip-prinsip lain itu tidak terdapat dalam Islam! Dijelaskan juga bahwa tujuan SI adalah untuk menegakkan suatu tatanan politik yang membawa persamaan dan kebahagiaan bagi seluruh umat manusia. Mungkin hal tersebut jugalah yang menyebabkan para aktivis pendiri negara Islam di Indonesia saat ini terinspirasi untuk mengkampanyekan bahaya kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan kolonialisme Cina. Meskipun, jika kita membaca sejarahnya dengan cermat, pada masa pra kemerdekaan sampai runtuhnya PKI pada tahun 1966 sangatlah berbeda dengan kondisi Indonesia pada masa sekarang. Namun demi politik suatu golongan tertentu, kondisinya didesain menyerupai masa lampau, sehingga isu kebangkitan PKI sangat menarik diceritakan kepada masyarakat yang sebagian besar belum dilahirkan pada masa itu.
Masih tentang gerakan modernis Islam di Indonesia, khususnya di kalangan kelompok terpelajar yang mendapat pendidikan Barat. Kelompok ini adalah mereka yang ingin memahami berbagai aspek ajaran Islam dari kacamata pemikiran modern. Dalam hal ini, peran Agus Salim perlu diapresiasi yang berhasil membimbing kesadaran keagamaan menurut gagasan-gagasan modern terhadap kelompok terpelajar ini. Kesadaran keagamaan tersebut kemudian disalurkan lewat organisasi JIB (Jong Islamiten Bond, Ikatan Pemuda Islam) yang didirikan pada awal 1925 di Yogyakarta dengan ketua pertamanya R.J. Syamsurijal, mantan ketua Jong Java. Dalam Anggaran Dasarnya disebutkan bahwa dua tujuan yang hendak diraih JIB adalah: 1. Mempelajari Islam dan menganjurkan agar ajaran-ajarannya dilaksanakan, 2. Mengembangkan rasa simpati terhadap Islam dan para pengikutnya, di samping menunjukkan sikap toleran positif terhadap pemeluk agama lain. Dengan menyebut sikap toleran terhadap pemeluk agama lain, JIB ingin menunjukkan bahwa Islam bukanlah agama yang sempit dan dangkal, dan kaum Muslim memang sama sekali tidak punya niat untuk memaksa pihak lain agar memeluk Islam karena hal itu berlawanan dengan ajaran Al-Quran sendiri. Selama periode akhir dari kekuasaan kolonial, JIB telah muncul sebagai ‘pabrik’ bagi hampir semua tokoh-tokoh modernis di Indonesia. Sebagai mahasiswa atau pelajar, hampir semua anggota JIB juga merangkap jadi anggota gerakan modern Islam lainnya. Misalnya Mohammad Natsir yang merupakan tokoh Persis, Kasman Singodimedjo ialah aktivis Muhammadiyah, kemudian A.R. Baswedan, keturunan Arab pembela Indonesia merdeka, adalah tokoh Al-Irsyad, Pendiri Partai Arab Indonesia (PAI) tahun 1934, di samping juga anggota Muhammadiyah. Namun dikarenakan tidak semua tokoh-tokoh JIB menguasai bahasa Arab maka pemikiran mereka tentang Islam yang komprehensif belum lagi tuntas. Mereka belum lagi terlibat dalam usahaijtihad secara serius bagi kebangkitan Islam yang sebenarnya di bidang inovasi dan pemikiran kreatif.
Bagaimana pandangan Natsir tentang hubungan agama dengan negara? Dalam pidatonya yang berjudul “Islam sebagai Dasar Negara”, Natsir berdalil bahwa untuk dasar negara, Indonesia hanya mempunyai dua pilihan, yaitu sekularisme (la-diniyyah) atau paham agama (dini). Dan pancasila menurut pendapatnya bercorak la-diniyyah, karena itu ia sekuler, tidak mau mengakui wahyu sebagai sumbernya. Pancasila adalah hasil penggalian dari masyarakat. Mengenai negara sebagai institusi, Natsir hanyalah mengikuti pendapat-pendapat tentang persyaratan negara modern, yaitu harus memiliki: wilayah, rakyat, pemerintah, kedaulatan, konstitusi, atau sumber hukum dan kekuasaan lain yang tidak tertulis. Lalu bagaimana dengan gelar kepala negara, apakah harus memakai nama khalifah sebagaimana yang diwajibkan oleh teori klasik dalam literatur Islam? Mengenai titel seorang kepala negara, bagi Natsir, khalifah boleh, amir al-mu’minin boleh, presiden boleh, asalkan sifat-sifat, hak dan kewajibannya adalah sebagaimana yang dikehendaki Islam. Kemudian menurutnya, dalam menangani dan mengatur masalah-masalah sosio-politik umat, di antara prinsip yang harus diikuti dan dihormati adalah prinsip syura. Tentang bagaimana mengembangkan dan menyesuaikan mekanisme syura, semuanya terantung pada ijtihad umat, karena Islam tidak menetapkannya secara kaku dan pasti. KH. M. Syukri berpendapat bahwa bentuk pemerintahan tidaklah terlalu penting dalam Islam. Yang lebih penting ialah agar pemerintahan dapat berjalan dan berfungsi dengan baik. Namun karena Islam ingin melihat agar prinsip-prinsip syura-demokrasi dipahami dan dilaksanakan dalam masyarakat manusia, maka bentuk republik lebih baik daripada bentuk monarki. Dalam pemerintahan yang berbentuk republik, menurut jalan pemikiran Syukri, kolaborasi kolegial antara kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam rangka melaksanakan UUD lebih memungkinkan. Perdebatan tentang dasar ideologi negara dalam majelis konstituante berlangsung sampai rapat terakhir pada 2 Juni 1959 tanpa suatu keputusan. Dengan demikian, pembuatan suatu Undang-Undang Dasar (UUD) permanen menjadi terbengkalai. Maka pada 5 Juli 1959, Presiden Sukarno dengan sokongan penuh dari pihak militer mengeluarkan dekrit untuk kembali kepada UUD 1945 dan sekaligus membubarkan Majelis Konstituante yang dipilih rakyat itu. Sejak kemerdekaan, Indonesia memiliki tiga UUD Sementara, yaitu: UUD 1945, UUD 1949 dan UUD 1950. Dalam tiga UUD tersebut, Pancasila ditetapkan sebagai dasar ideologi negara.
Lalu bagaimana argumen Mohammad Hatta tentang Pancasila? Menurut Hatta, sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan prinsip pembimbing bagi cita-cita kenegaraan di Indonesia. Prinsip spiritual dan etik ini memberikan bimbingan kepada semua yang baik bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Sejalan dengan prinsip dasar ini, sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab, adalah kelanjutan dari sila pertama dalam praktik. Begitu juga sila ketiga dan keempat. Sedangkan sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, menjadi tujuan akhir dari ideologi Pancasila. Mengenai sila Kerakyatan atau Demokrasi, Hatta yakin bahwa demokrasi akan hidup selama-lamanya di Indonesia, sekalipun mengalami nasib pasang surut. Menurutnya, sumber demokrasi sosial di Indonesia ada tiga. Pertama, sosialisme Barat yang membela prinsip-prinsip humanisme. Kedua, ajaran Islam yang memerintahkan kebenaran dan keadilan Tuhan dalam masyarakat. Ketiga, pola hidup dalam bentuk kolektivisme sebagaimana terdapat di desa-desa Indonesia. Baginya, suatu kombinasi organik antara tiga kekuatan sosiologis-religius ini tidak boleh tidak akan mengembangkan dan memperkuat demokrasi Indonesia. Dengan berpegang teguh pada filsafat ini, pemerintah Negara Indonesia jangan sampai menyimpang dari jalan lurus bagi keselamatan negara dan masyarakat, ketertiban dunia, dan persaudaraan antar bangsa.
Dalam buku yang telah kita bahas ini, Buya Syafii menyimpulkan bahwa baik dalam Al-Quran maupun ajaran Nabi Muhammad tidak menetapkan pola teori tentang negara yang harus diikuti oleh umat Islam di berbagai negeri, asal prinsip syura dijalankan dan dihormati sepenuhnya, sesuatu yang diabaikan pasca al-Khulafa’ al-Rasyidun. Apa yang disebut teori politik Islam dalam bentuk khilafah dan imamah sebagaimana dikembangkan oleh para yuris seperti al-Baqillani dan al-Mawardi pada abad pertengahan tidak lebih dari sekedar usaha intelektual untuk memenuhi dan menjawab tuntutan sejarah dan tantangan zaman. Para yuris ini merumuskan doktrin politik mereka di bawah bayangan “imperial Islam” sebagaimana Fazlur Rahman mengistilahkannya. Sementara itu, meskipun penulis modernis Muslim juga kelompok pesantren menyukai sistem politik demokrasi sebagai bentuk modern dari pelaksanaan prinsip-prinsip syura, suatu teori politik Islam yang komprehensif, sistematis, dan dapat beroperasi secara efektif belum lagi ditemui dalam literatur Islam modern. Hal ini merupakan suatu kendala mengapa usaha-usaha untuk menciptakan suatu negara Islam menghadapi kesulitan yang menggunung. Karena itu, sangat diharapkan umat Islam meluaskan cakrawala religius intelektualnya dan menyiapkan diri untuk mempelajari Al-Quran sebagai satu kesatuan yang padu tentang ajaran-ajaran moral dan etika guna meraih suatu keseluruhan yang sistematis tentang pesan Al-Quran untuk umat manusia. Pendekatan setengah-setengah dan parsial terhadap Al-Quran tidak akan banyak artinya dalam meretas kemacetan religius-intelektual yang masih menghimpit umat Islam sekarang ini. Dalam jangkauan maknanya yang komprehensif inilah sebenarnya peran utama dari kerja ijtihad.
Saya berpendapat bahwa perdebatan dalam menentukan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ialah kesalahpahaman dalam menafsirkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai sesuatu yang jauh dari ajaran agama. Untuk itulah, buku kedua, “Negara Bukan-Bukan?” karya Silvano Keo Bhaghi diharapkan bisa menjadi jawaban atas kesalahpahaman tersebut. Alasan penulisan buku ini adalah yang pertama, fenomena pluralisasi masyarakat modern sudah pasti akan menimbulkan konflik normatif tak terhindarkan antara lain konflik purba antara agama dan negara. Kedua, bahwa Driyarkara, seorang filsuf Indonesia menawarkan “Negara Bukan-Bukan” melalui filsafat Pancasila untuk menyantuni konflik tersebut. Ketiga, bahwa solusi “Negara Bukan-Bukan” Driyarkara ternyata belum tuntas menyelesaikan konflik normatif bersangkutan dan oleh karena itu, dan keempat, kita dituntut untuk senantiasa melakukan diskursus lebih lanjut tentang ideal relasi antara agama dan negara agar NKRI tidak menjadi negeri yang berdarah-darah hanya karena kegagapan menyantuni fenomena pluralisasi doktrin komprehensif masyarakat modern, misalnya seperti agama. Pertanyaan utama yang hendak dijawab buku ini ialah apakah Indonesia adalah Negara Agama atau Negara Sekuler atau bukan keduanya?
Agama secara etimologis berasal dari bahasa Sanskerta dengan a berarti “tidak” dan gama yang berarti “kacau.” Agama berarti peraturan tradisional, kumpulan peraturan dan/atau ajaran yang tetap. Umumnya kita menggunakan agama dalam arti religio (Latin) dan din (Persia). Kata religio (keseganan atau kekhawatiran) berasal dari kata kerja relegere (membaca kembali atau memperhatikan dengan teliti), religare (mengingat kembali) dan reeligare (memilih lagi). Sementara itu, kata din menurut terminologi Islam diartikan sebagai apa yang disyaratkan Allah dengan pengantaraan nabi-nabi-Nya berupa perintah dan larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan di akhirat. Jadi secara etimologis, agama berarti peraturan berupa perintah dan larangan yang diturunkan Allah dengan pengantaraan para nabi yang kepadanya manusia mengikatkan diri.
Sekalipun sudah berakar pada tradisi polis Yunani Kuno dan res publica Romawi Kuno, konsep negara sebenarnya baru muncul pada abad modern antara lain ditandai oleh terbitnya karya-karya Nicollo Machiavelli (1469-1528) tentang negara (lo stato). Sosiolog Max Weber (1864-1920) mendefinisikan negara sebagai institusi kekuasaan politik yang memiliki monopoli menetapkan undang-undang dan kewenangan menggunakan instrumen pemaksaan atau kekerasan fisik dalam lingkup wilayah geografis tertentu. Negara berfungsi untuk memersatukan masyarakat dengan menetapkan pelbagai produk peraturan kelakuan warga yang bersifat mengikat. Umumnya, konsep Negara Modern mengacu pada institusi politik yang terdiri atas unsur wilayah, penduduk, pemerintah yang berdaulat dan pengakuan internasional.
Pada tataran mondial, hubungan antara agama dan negara bersifat sangat kompleks. Di satu pihak, agama tidak pernah boleh direduksi hanya kepada sistem politik tertentu, namun di pihak lain, agama selalu lahir dari kebudayaan tertentu dan karena itu rentan untuk diperalat. Secara teoritis, relasi antara agama dan negara bisa dipetakan dalam empat pola hubungan. Pertama, negara memeralat agama sebagai basis legitimasi kekuasaan. Misalnya, kekaisaran Romawi Kuno menempatkan kaisar sebagai imam agung (portifex maximus), titisan dan wakil dewa yang tega membunuh puluhan ribu umat Nasrani hanya karena tidak menyembah dewa-dewa Romawi. Kedua, agama menguasai negara untuk menjalankan kekuasaan religius sekaligus profan. Penguasaan agama atas negara tampak dalam pemerintahan para raja yang mengklaim diri sebagai keturunan dewa seperti di kesultanan-kesultanan kuno di Timur Tengah dan teokrasi baik dalam bentuk hierokrasi, nomokrasi maupun ideokrasi. Ketiga, pada abad modern muncullah konsep pemisahan tegas antara agama dan negara. Dalam arti positif, pemisahan agama dan negara bertujuan agar negara netral dari agama apapun. Dalam arti negatif, negara memusuhi semua agama, misalnya di negara-negara komunis. Keempat, agama dan negara dibedakan untuk selanjutnya saling bekerja sama, sekalipun tetap netral, negara mengambil sikap positif terhadap agama dan mengakui kontribusinya bagi keadaban publik. Jadi, kasus relasi antara agama dan negara sesungguhnya bisa dikembalikan kepada tiga tipe relasi; tipe relasi pertama dan kedua mengisyaratkan prinsip penyatuan erat, tipe relasi ketiga menganjurkan prinsip pemisahan tegas dan tipe relasi keempat menegaskan prinsip pembedaan antara agama dan negara. Prinsip penyatuan erat menghasilkan Negara Agama, sedangkan prinsip pemisahan tegas menghasilkan Negara Sekuler.
Sebelum sampai pada pengertian filsafat Pancasila, kita harus mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan filsafat dan bagaimana sejarah terbentuknya Pancasila. Istilah filsafat pertama kali digunakan oleh Pythagoras (572-497 SM). Ketika ditanya apakah ia seorang yang bijaksana, ia menjawab bahwa ia hanyalah seorang pecinta kebijaksanaan (philoshoper) sebagai bentuk protes terhadap kaum terpelajar (shopist) pada masa itu yang menamakan dirinya “bijaksana.” Istilah filsafat itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, philoshopia yang terdiri atas dua kata, yakni philosartinya cinta, sahabat, kekasih atau philia yang artinya persahabatan dan sophos yang berarti kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan praktis, dan intelegensi. Secara etimologis, filsafat berarti ketertarikan atau cinta akan kebijaksanaan, yang memberikan indikasi bahwa manusia tidak pernah memiliki kebijaksanaan itu dalam dirinya sendiri. Kebijaksanaan hanya dapat didekati dengan cinta atau malah dengan perasaan bingung, heran dan juga kagum.
Dalam sidang BPUPKI yang pertama pada 1 Juni 1945, Sukarno mengutarakan lima sila Pancasila dengan rumusan dan urutan sebagai berikut: (i) Kebangsaan Indonesia, (ii) Internasionalisme atau perikemanusiaan, (iii) Mufakat atau demokrasi, (iv) Kesejahteraan sosial, dan (v) Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan merumuskan kembali Pancasila versi Sukarno dalam sebuah dokumen yang dikenal sebagai Piagam Djakarta. Rumusan dan urutan lima sila Pancasila menurut Piagam Djakarta adalah (i) Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, (ii) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (iii) Persatuan Indonesia, (iv) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan (v) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Setelah proklamasi kemerdekaan, tepatnya pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menghapus anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” pada sila pertama dengan tetap memertahankan rumusan sila lain serta urutannya. Akan tetapi, pada tahun 1950, dalam mukadimah UUD RIS, rumusan dan urutan Pancasila mengalami perubahan lagi: (i) Ketuhanan Yang Maha Esa, (ii) Perikemanusiaan, (iii) Kebangsaan, (iv) Kerakyatan, dan (v) Keadilan sosial. Yang pada akhirnya tanggal 5 Juli 1959, melalui Dekrit Presiden Sukarno yang menandai awal masa demokrasi terpimpin, Pancasila kembali lagi ke rumusan dan urutan awal sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV. Menurut Mohammad Hatta, perubahan rumusan dan urutan Pancasila tidak mengubah ideologi dan tujuan negara, melainkan justru meneguhkan posisi Pancasila sebagai dasar, pedoman, dan tujuan negara.