Maskulin Gitu Harus Toksik?
Pernah nggak, kamu dengar istilah toxic masculinity terus mikir, "Apaan sih ini? Cowok maskulin emang selalu toksik gitu?" Tenang, kamu nggak sendiri! Definisi toxic masculinity masih bikin banyak orang garuk kepala sambil nanya Google. Tapi, kalau mau gampangnya, ini tentang stereotip maskulinitas yang bikin cowok harus kelihatan kuat, nggak boleh nangis, harus dominan, dan pantang kalah. Ibaratnya, kalau ada cowok nonton drama Korea terus nangis, langsung dicap nggak maskulin. Padahal, siapa sih yang nggak nangis waktu nonton drama cinta-cintaan?
Menurut Harrington (2021), konsep ini sebenarnya muncul dari gerakan pria di akhir abad ke-20 dan mulai jadi perbincangan serius di dunia terapi dan kebijakan sosial. Tapi, masalahnya, istilah ini sering dipakai untuk menyalahkan individu, terutama pria dari kelompok terpinggirkan, atas masalah gender. Jadi, bukannya nyari solusi, malah jatuhnya kayak main salah-salahan aja. Hmm, nggak sehat juga, ya?
Nah, sekarang kita masuk ke pertanyaan penting: gimana caranya kita tahu kalau maskulinitas seseorang udah masuk ke kategori "toksik"? Emangnya ada alat ukurnya?
Mengukur Toxic Masculinity: Pakai Penggaris Apa Nih?
Buat kamu yang penasaran, ternyata ada loh skala yang dibuat khusus untuk mengukur tingkat toxicity dalam maskulinitas. Bayangkan, kayak ngukur tinggi badan, tapi ini ngukur "seberapa toksik lu, bro?" Skala ini namanya Toxic Masculinity Scale atau TMS.
Steven dan kawan-kawan (2024) bikin skala ini karena mereka merasa alat-alat pengukur sebelumnya udah usang kayak hape jadul. Skala ini dirancang dalam beberapa tahap serius banget. Mulai dari bikin 165 item soal yang diusulkan (iya, 165!) sampai akhirnya disaring jadi 28 item aja biar nggak bikin penggunanya kabur duluan.
TMS ini punya empat aspek utama:
- Superioritas Maskulin: Kalau kamu merasa harus selalu jadi nomor satu dan nggak boleh kalah dari siapapun, hati-hati, ini udah masuk kategori toksik!
- Kekakuan Gender: Cowok harus begini, cewek harus begitu. Dunia jadi kayak papan catur, semuanya hitam putih.
- Pembatasan Emosional: Nangis itu dosa besar. Emosi? Jangan, nanti dibilang lemah.
- Penderitaan yang Ditekan: Nggak boleh curhat, nggak boleh kelihatan rapuh. Pokoknya harus tahan banting kayak panci presto.
Bayangin, kalau ada survei kayak gini di kampus atau kantor, pasti ada yang mikir, "Wah, gue bisa masuk ranking berapa nih? Juara toksik?"
Tapi... Skala Ini Buat Siapa?
Menurut studi Steven dkk. (2024), penelitian awal mereka cuma fokus ke pria sarjana kulit putih. Jadi, kalau dipakai di Indonesia, masih perlu sedikit tuning biar lebih relevan. Tapi intinya, kita sekarang punya alat untuk mengukur dan memahami fenomena ini.
Peranan Kecerdasan Buatan dalam Mengukur Toxic Masculinity: AI Jadi Detektif!
Nah, setelah kita tahu ada skala yang bisa ngukur toxic masculinity, muncul pertanyaan seru: bisa nggak sih, kecerdasan buatan alias AI bantu kita dalam mendeteksi perilaku toksik ini? Jawabannya: Bisa banget, bro! Bahkan, AI sekarang udah kayak detektif online yang tugasnya memindai komentar, percakapan, dan postingan di media sosial buat nyari tanda-tanda toksisitas.
Misalnya, di Twitter, kamu pasti sering lihat komentar yang nggak cuma pedas tapi udah kelewatan toxic. Nah, Carral dan Elas (2024) melakukan studi untuk menganalisis percakapan politik di Twitter. Hasilnya? Dari 43.165 tweet yang mereka analisis, penghinaan adalah kategori komentar beracun paling dominan. Bayangin, tweet politik di Twitter itu udah kayak pertandingan tinju verbal.
Mereka nggak cuma asal tebak-tebak buah manggis. AI yang mereka gunakan bisa:
- Mengidentifikasi Toksisitas: AI ini tahu mana komentar yang cuma bercanda receh, mana yang udah masuk kategori penghinaan. Ibaratnya, AI ini bisa bedain antara "Ah, kamu nih lucu banget!" sama "Ih, lu emang payah!"
- Menganalisis Peran Bot: Ternyata, 21% pengguna dalam percakapan politik itu bot alias akun palsu. Tapi menariknya, justru pengguna asli lebih banyak nyumbang komentar beracun. Jadi, kalau kamu pikir semua toksik itu ulah bot, pikir lagi deh.
AI Bisa Bantu Tapi Nggak Sempurna
Meskipun AI udah canggih, tetap ada tantangan. Menurut Kumar dan Tripathy (2020), AI masih harus belajar banyak buat benar-benar paham konteks budaya dan bahasa. AI ini kayak mahasiswa baru yang harus belajar dulu biar ngerti gimana cara membedakan komentar serius dan sarkas.
Mereka menggunakan teknologi jaringan saraf berulang atau Recurrent Neural Network (RNN) yang fokus pada analisis data teks. RNN ini dirancang untuk memahami kata-kata dalam sebuah kalimat dengan lebih baik. Salah satu model yang mereka pakai adalah Bidirectional Gated Recurrent Unit (GRU). Model ini kayak punya dua mata: satu buat ngelihat ke belakang, satu lagi buat ngelihat ke depan, biar konteks kalimatnya nggak salah paham.
Hasilnya? GRU ini cukup jago mendeteksi toksisitas dibanding model lainnya. Tapi, ya namanya juga teknologi, ada kalanya AI ini gagal paham. Misalnya, kalau ada komentar sarkasme khas orang Indonesia, bisa jadi AI malah bingung.
AI dan Moderasi Online: Masa Depan yang Lebih Aman?
Dengan bantuan AI, moderasi konten online jadi lebih cepat dan efisien. Tapi apakah ini cukup untuk mengatasi semua masalah toksisitas? Belum tentu. Tetap diperlukan peran manusia untuk memberikan sentuhan akhir dalam memahami konteks sosial dan budaya.
Jadi, bisa dibilang, AI itu kayak partner kerja yang rajin dan teliti, tapi masih butuh supervisi bosnya buat keputusan final. Kalau AI dibiarkan kerja sendiri, bisa-bisa malah banyak konten yang kena sensor padahal nggak salah apa-apa.
Toxic Masculinity dan AI: Kombinasi Antara Data, Budaya, dan Emosi
Bayangin kalau toxic masculinity itu kayak penyakit sosial yang pelan-pelan merusak, AI ini semacam alat diagnosisnya. Tapi seperti dokter yang nggak bisa cuma andalkan hasil lab tanpa ngobrol sama pasien, AI juga butuh konteks lebih dalam buat benar-benar memahami toxic behavior ini.
Misalnya, di Indonesia, ada banyak ungkapan khas yang bisa terdengar toksik tapi sebenarnya bercanda, seperti "Cowok kok galau?" atau "Cowok harus tegas, jangan kebanyakan mikir!" Kalau AI nggak diajari konteks ini, bisa-bisa semua percakapan nongkrong di warung kopi langsung dianggap toksik.
Beda Budaya, Beda Toksik
Toxic masculinity itu beda-beda loh di setiap negara. Di Spanyol, menurut Carral dan Elas (2024), toksisitas sering muncul di percakapan politik yang penuh dengan penghinaan. Sementara di Indonesia, seringkali toksisitas muncul dalam bentuk tuntutan sosial yang halus tapi tajam. Misalnya, kalau kamu nggak jadi pemimpin di keluarga besar, ada aja yang bilang, "Ah, cowok kok nggak bisa jadi panutan?"
Nah, AI harus pintar mempelajari perbedaan ini. Caranya? Dengan dilatih menggunakan dataset lokal yang relevan. Ini penting, biar AI nggak cuma jago deteksi komentar di Twitter ala barat, tapi juga ngerti konteks obrolan di grup WhatsApp keluarga.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Sekarang pertanyaannya, kita bisa ngapain sih buat mengurangi toxic masculinity ini, selain berharap AI jadi makin pintar? Ada beberapa langkah yang bisa kamu lakukan:
- Edukasi Diri Sendiri dan Orang Lain: Mulai dari diri sendiri. Pahami bahwa maskulinitas nggak harus selalu soal kekuatan fisik atau dominasi. Maskulinitas yang sehat adalah yang bisa menerima emosi, berbagi perasaan, dan menghargai orang lain.
- Ciptakan Ruang Aman: Baik di rumah, tempat kerja, atau media sosial, ciptakan ruang yang aman buat semua orang mengekspresikan diri tanpa takut dihakimi. Kalau ada yang curhat sambil nangis, jangan langsung bilang, "Udah, jangan nangis. Cowok nggak boleh cengeng!"
- Gunakan Teknologi dengan Bijak: AI bisa jadi alat bantu yang keren buat moderasi konten, tapi tetap harus ada peran manusia yang memastikan bahwa keputusan moderasi sesuai konteks sosial dan budaya.
Masa Depan Tanpa Toxic Masculinity: Mungkinkah?
Apakah kita bisa hidup di dunia tanpa toxic masculinity? Mungkin nggak sepenuhnya hilang, tapi kita bisa pelan-pelan menguranginya. Dengan kombinasi edukasi, perubahan budaya, dan teknologi seperti AI, ada harapan kita bisa menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan sehat secara emosional.
Dan yang terpenting, ingatlah: menjadi maskulin bukan berarti harus toksik. Cowok boleh nangis, boleh galau, dan boleh minta tolong. Karena pada akhirnya, maskulinitas sejati adalah tentang menjadi manusia yang utuh---dengan segala emosi dan kekuatannya.
Jadi, next time kalau ada yang bilang, "Cowok kok nangis?" Jawab aja, "Cowok nangis? Ya boleh lah. Itu namanya punya hati, bukan toksik!"
Referensi:
Harrington, C. (2021). What is "toxic masculinity" and why does it matter?. Men and masculinities, 24(2), 345-352.Â
Steven, M., Sanders., Claudia, Garcia-Aguilera., Nicholas, C., Borgonana., John, Sy., Gianna, Comoglio., Olivia, A., M., Schultz., Jacqueline, Goldman. (2024). The Toxic Masculinity Scale: Development and Initial Validation. Â doi: 10.31234/osf.io/gcp5uÂ
Carral, U., & Elas, C. (2024). Aplicacin de herramientas de IA como metodologa para el anlisis de la toxicidad en la conversacin en redes sociales: Estudio de caso de la poltica espaola en Twitter. Revista Latina De Comunicacin Social, (82), 1--18. https://doi.org/10.4185/rlcs-2024-2205Â
Kumar, V., & Tripathy, B. K. (2020). Detecting toxicity with bidirectional gated recurrent unit networks. In Intelligent Computing and Communication: Proceedings of 3rd ICICC 2019, Bangalore 3 (pp. 591-600). Springer Singapore.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H