Mohon tunggu...
Muhammad Ainul Yaqin
Muhammad Ainul Yaqin Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Teknik Informatika Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Dosen Teknik Informatika yang menekuni Bidang keahlian Rekayasa Perangkat Lunak, Sistem Informasi, Manajemen Proses Bisnis, Process Mining, dan Arsitektur Enterprise.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Toxic Masculinity: Saat AI Lebih Jago Ngukur Emosi daripada Manusia

3 Desember 2024   12:08 Diperbarui: 3 Desember 2024   12:14 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.bing.com/images/create/

Maskulin Gitu Harus Toksik?

Pernah nggak, kamu dengar istilah toxic masculinity terus mikir, "Apaan sih ini? Cowok maskulin emang selalu toksik gitu?" Tenang, kamu nggak sendiri! Definisi toxic masculinity masih bikin banyak orang garuk kepala sambil nanya Google. Tapi, kalau mau gampangnya, ini tentang stereotip maskulinitas yang bikin cowok harus kelihatan kuat, nggak boleh nangis, harus dominan, dan pantang kalah. Ibaratnya, kalau ada cowok nonton drama Korea terus nangis, langsung dicap nggak maskulin. Padahal, siapa sih yang nggak nangis waktu nonton drama cinta-cintaan?

Menurut Harrington (2021), konsep ini sebenarnya muncul dari gerakan pria di akhir abad ke-20 dan mulai jadi perbincangan serius di dunia terapi dan kebijakan sosial. Tapi, masalahnya, istilah ini sering dipakai untuk menyalahkan individu, terutama pria dari kelompok terpinggirkan, atas masalah gender. Jadi, bukannya nyari solusi, malah jatuhnya kayak main salah-salahan aja. Hmm, nggak sehat juga, ya?

Nah, sekarang kita masuk ke pertanyaan penting: gimana caranya kita tahu kalau maskulinitas seseorang udah masuk ke kategori "toksik"? Emangnya ada alat ukurnya?

Mengukur Toxic Masculinity: Pakai Penggaris Apa Nih?

Buat kamu yang penasaran, ternyata ada loh skala yang dibuat khusus untuk mengukur tingkat toxicity dalam maskulinitas. Bayangkan, kayak ngukur tinggi badan, tapi ini ngukur "seberapa toksik lu, bro?" Skala ini namanya Toxic Masculinity Scale atau TMS.

Steven dan kawan-kawan (2024) bikin skala ini karena mereka merasa alat-alat pengukur sebelumnya udah usang kayak hape jadul. Skala ini dirancang dalam beberapa tahap serius banget. Mulai dari bikin 165 item soal yang diusulkan (iya, 165!) sampai akhirnya disaring jadi 28 item aja biar nggak bikin penggunanya kabur duluan.

TMS ini punya empat aspek utama:

  1. Superioritas Maskulin: Kalau kamu merasa harus selalu jadi nomor satu dan nggak boleh kalah dari siapapun, hati-hati, ini udah masuk kategori toksik!
  2. Kekakuan Gender: Cowok harus begini, cewek harus begitu. Dunia jadi kayak papan catur, semuanya hitam putih.
  3. Pembatasan Emosional: Nangis itu dosa besar. Emosi? Jangan, nanti dibilang lemah.
  4. Penderitaan yang Ditekan: Nggak boleh curhat, nggak boleh kelihatan rapuh. Pokoknya harus tahan banting kayak panci presto.

Bayangin, kalau ada survei kayak gini di kampus atau kantor, pasti ada yang mikir, "Wah, gue bisa masuk ranking berapa nih? Juara toksik?"

Tapi... Skala Ini Buat Siapa?

Menurut studi Steven dkk. (2024), penelitian awal mereka cuma fokus ke pria sarjana kulit putih. Jadi, kalau dipakai di Indonesia, masih perlu sedikit tuning biar lebih relevan. Tapi intinya, kita sekarang punya alat untuk mengukur dan memahami fenomena ini.

Peranan Kecerdasan Buatan dalam Mengukur Toxic Masculinity: AI Jadi Detektif!

Nah, setelah kita tahu ada skala yang bisa ngukur toxic masculinity, muncul pertanyaan seru: bisa nggak sih, kecerdasan buatan alias AI bantu kita dalam mendeteksi perilaku toksik ini? Jawabannya: Bisa banget, bro! Bahkan, AI sekarang udah kayak detektif online yang tugasnya memindai komentar, percakapan, dan postingan di media sosial buat nyari tanda-tanda toksisitas.

Misalnya, di Twitter, kamu pasti sering lihat komentar yang nggak cuma pedas tapi udah kelewatan toxic. Nah, Carral dan Elas (2024) melakukan studi untuk menganalisis percakapan politik di Twitter. Hasilnya? Dari 43.165 tweet yang mereka analisis, penghinaan adalah kategori komentar beracun paling dominan. Bayangin, tweet politik di Twitter itu udah kayak pertandingan tinju verbal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun