Apakah kita bisa hidup di dunia tanpa toxic masculinity? Mungkin nggak sepenuhnya hilang, tapi kita bisa pelan-pelan menguranginya. Dengan kombinasi edukasi, perubahan budaya, dan teknologi seperti AI, ada harapan kita bisa menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan sehat secara emosional.
Dan yang terpenting, ingatlah: menjadi maskulin bukan berarti harus toksik. Cowok boleh nangis, boleh galau, dan boleh minta tolong. Karena pada akhirnya, maskulinitas sejati adalah tentang menjadi manusia yang utuh---dengan segala emosi dan kekuatannya.
Jadi, next time kalau ada yang bilang, "Cowok kok nangis?" Jawab aja, "Cowok nangis? Ya boleh lah. Itu namanya punya hati, bukan toksik!"
Referensi:
Harrington, C. (2021). What is "toxic masculinity" and why does it matter?. Men and masculinities, 24(2), 345-352.Â
Steven, M., Sanders., Claudia, Garcia-Aguilera., Nicholas, C., Borgonana., John, Sy., Gianna, Comoglio., Olivia, A., M., Schultz., Jacqueline, Goldman. (2024). The Toxic Masculinity Scale: Development and Initial Validation. Â doi: 10.31234/osf.io/gcp5uÂ
Carral, U., & Elas, C. (2024). Aplicacin de herramientas de IA como metodologa para el anlisis de la toxicidad en la conversacin en redes sociales: Estudio de caso de la poltica espaola en Twitter. Revista Latina De Comunicacin Social, (82), 1--18. https://doi.org/10.4185/rlcs-2024-2205Â
Kumar, V., & Tripathy, B. K. (2020). Detecting toxicity with bidirectional gated recurrent unit networks. In Intelligent Computing and Communication: Proceedings of 3rd ICICC 2019, Bangalore 3 (pp. 591-600). Springer Singapore.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H