Stratifikasi sosial adalah fenomena yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, terutama di negara-negara berkembang. Dalam kajian sosiologi, stratifikasi sosial merujuk pada pengelompokan individu ke dalam lapisan-lapisan hierarkis berdasarkan berbagai faktor seperti kekayaan, pendidikan, kekuasaan, dan status sosial. Fenomena ini tak hanya mempengaruhi interaksi sosial, tetapi juga menciptakan kesenjangan ekonomi yang signifikan.
Di negara berkembang, stratifikasi sosial sering kali bersifat kaku dan sulit untuk ditembus. Berbagai faktor, seperti ketimpangan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan peluang ekonomi, turut berperan dalam memperkuat kondisi ini. Selain itu, kebijakan publik yang tidak merata, warisan kolonial, serta praktik korupsi juga memperburuk keadaan. Akibatnya, banyak masyarakat terjebak dalam siklus kemiskinan, sementara kelompok elit terus menikmati dominasi atas sumber daya. Fenomena ini tidak hanya membatasi potensi individu, tetapi juga menghambat pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan.
Kesenjangan ekonomi yang muncul akibat stratifikasi sosial menghadirkan tantangan besar bagi negara berkembang dalam upaya mencapai pembangunan berkelanjutan. Ketimpangan ini tampak jelas tidak hanya dalam hal pendapatan, tetapi juga dalam kualitas hidup masyarakat, seperti akses terhadap pendidikan berkualitas, layanan kesehatan, dan peluang kerja yang layak. Selain itu, kesenjangan yang mencolok seringkali memicu ketidakstabilan sosial dan politik, yang berdampak negatif pada kemajuan suatu bangsa.
Artikel ini akan mengupas hubungan antara stratifikasi sosial dan kesenjangan ekonomi di negara berkembang, dengan menyoroti faktor-faktor penyebab, dampaknya terhadap masyarakat, serta implikasi politik yang muncul. Melalui analisis ini, diharapkan dapat memberikan wawasan mengenai kompleksitas masalah ini dan solusi yang bisa diupayakan untuk mengatasinya.
Negara berkembang biasanya memiliki struktur masyarakat yang kompleks, ditandai oleh adanya pembagian sosial yang signifikan. Stratifikasi sosial di negara-negara ini sering kali dipengaruhi oleh faktor ekonomi, seperti kepemilikan aset dan tingkat penghasilan. Namun, faktor non-ekonomi, seperti pendidikan, jenis pekerjaan, dan warisan budaya, juga berperan penting. Sebagai contoh, individu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung memiliki akses yang lebih baik ke pekerjaan dengan gaji tinggi, yang pada gilirannya memperkuat posisi mereka dalam hierarki sosial.
Pendidikan menjadi salah satu penentu utama dalam pembagian sosial. Ketidakmampuan kelompok masyarakat miskin untuk mengakses pendidikan berkualitas menyebabkan keterbatasan peluang kerja yang baik. Kurikulum yang tidak relevan dengan kebutuhan pasar kerja dan fasilitas pendidikan yang minim di daerah terpencil semakin memperparah ketimpangan ini. Anak-anak dari keluarga miskin sering kali harus putus sekolah karena tuntutan ekonomi keluarga, yang membuat mereka terjebak dalam pekerjaan informal dengan pendapatan rendah.
Perbedaan penghasilan dan kekayaan antara kelompok kaya dan miskin memperkuat stratifikasi sosial. Kelompok yang kaya memiliki akses yang lebih besar terhadap sumber daya dan peluang ekonomi. Kekayaan yang terpusat pada segelintir orang juga menyebabkan akumulasi modal yang tidak merata, sehingga kelompok miskin sulit keluar dari siklus kemiskinan. Situasi ini diperburuk oleh kebijakan fiskal yang kurang progresif, yang sering kali memberikan manfaat lebih besar bagi kelompok kaya melalui insentif pajak atau perlakuan khusus.
Faktor budaya seperti kasta, etnisitas, dan agama memainkan peran penting dalam membentuk stratifikasi sosial. Kelompok minoritas atau yang dianggap lebih rendah sering kali mengalami diskriminasi dalam akses pekerjaan, pendidikan, dan layanan publik. Praktik-praktik sosial yang eksklusif, seperti preferensi terhadap kelompok tertentu dalam pekerjaan atau pernikahan, memperkuat pengelompokan ini. Diskriminasi yang terstruktur ini membatasi peluang mobilitas sosial bagi individu dari kelompok marginal, sehingga mereka sulit untuk meningkatkan taraf hidupnya.
Kebijakan pemerintah yang tidak inklusif, seperti distribusi anggaran yang tidak merata, memperparah perbedaan antara kelompok elit dan masyarakat miskin. Misalnya, investasi yang lebih besar di kota-kota besar sering kali mengabaikan pembangunan infrastruktur dan layanan publik di pedesaan. Ketimpangan ini menyebabkan urbanisasi yang tidak terkendali, di mana kelompok miskin dari desa-desa bermigrasi ke kota hanya untuk menemukan kondisi kehidupan yang sama sulitnya.
Praktik korupsi dan nepotisme menguntungkan segelintir kelompok masyarakat tertentu, sehingga memperdalam jurang ketimpangan sosial. Akses terhadap posisi kekuasaan sering kali ditentukan oleh hubungan pribadi daripada kompetensi, sehingga peluang untuk mobilitas sosial menjadi sangat terbatas bagi kelompok masyarakat bawah. Dalam jangka panjang, praktik ini merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah dan memperburuk ketidakadilan sosial.
Di era digital, kesenjangan dalam akses teknologi menciptakan stratifikasi baru. Kelompok yang mampu mengakses teknologi cenderung memiliki lebih banyak peluang untuk berkembang, sementara kelompok yang tidak memiliki akses tersebut semakin tertinggal. Di negara berkembang, banyak masyarakat yang masih bergantung pada teknologi tradisional dan tidak memiliki infrastruktur digital yang memadai, seperti internet cepat dan perangkat modern.