Kemarin, sebuah negara yang ditakdirkan Tuhan tidak akan pernah menjadi negara maju mengesahkan kitab Undang-Undang hukum pidana yang dinilai menuai kontroversi. Selain prosesnya yang tidak transparan, kita dipaksa berpegang pada draf 2019. Draf yang ditunda pengesahannya karena memuai banyak pasal kontroversi. Terdapat pasal yang mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi. Pasal ini memidanakan orang-orang yang dinilai melakukan penghinaan terhadap penguasa dan pemerintah.
Pada Bab IX TINDAK PIDANA TERHADAP KEKUASAAN UMUM DAN LEMBAGA NEGARA Bagian Kesatu, Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara. Berikut Pasal 353 RUU KUHP:
(1)Setiap Orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
(2)Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.
(3)Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina.
Ancaman diperberat apabila menghina lewat media sosial yang tertuang dalam Pasal 354 RUU KUHP. Berikut bunyi lengkap Pasal 354 RUU KUHP:
"Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar atau memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III."
Pasal ini bertujuan agar menjaga martabat penguasa dan lembaga pemerintahan. Hal ini jelas jelas berbenturan dengan melindungi kebebasan berbicara dan berpendapat. Jika kita berkaca pada undang-undang Pasal 28 undang udang 1945: kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Bukankah lucu jika mengaku negara demokrasi tetapi tanpa kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat?
Di sebuah negara demokrasi, kebebasan berekspresi masuk ke dalam hal fundamental bagi jaminan pelaksanaan HAM lainnya. Termasuk memperjuangkan hak-hak lain ketika negara tersebut luput tidak memenuhi hak-hak warga negaranya. Apalagi dalam pasal kitab Undang-Undang hukum pidana definisi penghinaan terhadap penguasa dan lembaga negara ini masih abu-abu dan tidak jelas. Apa ukuran dari sebuah tindakan atau ucapan yang masuk ke dalam kategori penghinaan?
Berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 telah ditegaskan bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Prinsip equality before the law tersebut merupakan norma yang melindungi hak asasi warga negara untuk melawan diskriminasi dan kesewenang-wenangan penguasa.
Pertanyaan nya, jika warga negara bisa ditindakpidana karena menghina penguasa atau lembaga pemerintah. Apakah seorang penguasa atau lembaga pemerintah bisa di tindak pidana juga karena menghina warga negara?
Apakah seorang penguasa atau pejabat di sebuah lembaga negara bisa ditindak pidana karena menghina dirinya sendiri? (Prilaku korupsi, Mengobral janji palsu saat pemilu, tidur nyenyak saat rapat dst)
Jika kita mau menjaga atau mendorong kehormatan seorang penguasa atau sebuah lembaga negara, bukannya caranya cukup sederhana? Yaitu kinerjanya diperbaiki, kepercayaan publik di tingkatkan kembali. Alih-alih malah justru membatasi kritik atau pendapat dari warga negara yang sebenarnya juga bersifat konstruktif bagi lembaga negara tersebut.
"And now you do what they told ya, now you're under control."
-Rage Against The Machine (Killing In The Name)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H