Mohon tunggu...
aksa amerta
aksa amerta Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Siliwangi

peace

Selanjutnya

Tutup

Diary

Berfikir Bebas

13 November 2022   23:40 Diperbarui: 13 November 2022   23:47 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Sembilan bulan aku didalam perut malaikat tanpa sayap, harusnya aku tak takut kepada dunia yang gelap."

Aku terlahir diatas padi, disebuah kota yang konon orang-orang nya ramah dan rajin ibadah. Bapakku adalah petani yang setiap panen hanya mendapatkan keringat dan kekecewaan. Ibu? Ibu adalah wanita sederhana yang hidup seadanya. Dengan lahirnya aku, mungkin akan menambah kesengsaraan mereka didunia.

Sejak kecil aku memiliki ketakutan kepada dunia. Sebagai anak laki-laki, aku terbiasa menanggung beban dipundak. Entah beban karena harapan tinggi dari keluarga, ataupun beban kehidupan yang semau itu bercampur aduk menjadi satu.

Sungguh sangat tidak enak hidup dibayang bayangi ekspetasi. Memikirkan hidup yang belum terjadi bukankah menjadi beban bagi diri sendiri? Bukankah hidup seharusnya seperti air yang mengalir? (Asalkan mempunyai tujuan)

Que sera sera; apapun yang terjadi maka terjadilah.

Sekarang, layaknya seekor burung yang sudah beranjak dewasa, aku bebas terbang kemanapun yang aku mau. Bilamana lelah, aku akan mencari tempat singgah ataupun sekedar meneduh.

Di perkuliahan, aku bertemu banyak orang-orang yang (mungkin) suatu waktu akan menjadi teman. Kebanyakan mereka orang yang apatis, ego, ambisius. Ada juga yang intelektual, sederhana, rendah hati. Tak mengapa, bukankah setiap manusia itu mempunyai karakteristik yang berbeda-beda?

Tetapi dari banyaknya orang yang aku temui, yang memiliki kepintaran diatas rata rata, yang tinggi pendidikannya, yang berfikiran terbuka (katanya) . Aku malah mengingat ibu. Ibu sama sekali tidak seperti itu. Tapi sungguh kesederhanaannya yang aku rindu.

.

Suara klakson mobil dibelakang membuyarkan lamunanku. Ku kayuhkan skuter tuaku menuju kedai. Oh ya, sore ini aku ada janji bertemu teman lama. Bram namanya. Bram adalah kawan ku saat SMA dulu. Kita sepakat bertemu di kedai kopi dipinggiran kota.

Sebari menunggu Bram, aku mencoba menyalakan rokok kretek yang tersisa dua batang. Di sekeliling kedai kopi, banyak sekali orang miskin yang mencoba peruntungan mengais rezeki. Ada tukang parkir, pengemis, pengamen, gembel, yang paling miris aku melihat seorang ibu membawa anaknya yang masih balita mengemis ngemis dibawah terik matahari yang pelan-pelan redup.

Mengapa banyak sekali orang-orang yang terbelenggu oleh kemiskinan? Orang-orang miskin di negerinya yang kaya? Menyedihkan memang, tetapi begitulah kenyataannya.

Bram akhirnya datang. Sempat memesan minuman dan makanan. Kita berbincang soal beban hidup masing-masing.

Bram bercerita tentang kehidupannya sebagai pekerja pabrik. Ia merasa perusahaan tempatnya bekerja hanya memeras tenaga dan waktunya. Ia dipaksa kerja pagi siang malam dan hanya mendapatkan upah yang tidak seberapa.

"akupun terkadang merasa iri kepada teman-teman ku yang sudah sukses, yang sudah menikah, yang sudah mempunyai penghasilan sendiri." Katanya

"kamu sekarang kerja dimana?" sambungnya

"aku belum bekerja, aku kuliah"

Mendengar jawaban ku, Bram tertawa.

"Kamu mahasiswa? Memangnya mau jadi apa? Pengacara? Untuk mempertahankan hukum orang kaya? Mau jadi dokter? Untuk mengobati kesehatan orang kaya, menganjurkan mereka makan makanan yang sehat, tidur yang cukup. Atau menjadi arsitek? Membangun rumah yang nyaman untuk tuan tanah? Tanah yang dirampas dari orang-orang miskin. Bapakmu saja menjadi petani sampai sekarang belum merasa sejahtera bukan? Padahal orang-orang kaya itu memakan nasi hasil jerih payah petani."

Aku tersenyum kecut.

"Tidak Bram, Aku ingin menjadi manusia yang merdeka. Ingin menjadi manusia yang bebas. Bersekutu dengan kaum tertindas dan melawan sistem sialan ini. Bram, coba liat sekelilingmu. Bukankah banyak sekalian orang-orang miskin? Orang-orang yang rindu keadilan? Aku bukan mahasiswa ambisius yang ingin menyelesaikan kuliah secepatnya dan gelar setinggi-tingginya. Aku ingin terjun ke arena pergulatan sosial yang menantang dan menjanjikan."

"kamu masih ingat? Sejak sekolah dulu kita sama sama membenci tirani, sama sama membenci cukong cukong yang bergelantungan dipemerintah. Sama sama membenci polisi yang dari petinggi sampai bawahannya bobrok semua. Aku masih memegang teguh prinsip kita. Hidup yang tak dipertaruhkan adalah hidup yang tak layak untuk dijalani." Sambungku lagi.

Bram menatapku dengan serius. "Tetapi bukankah sekuat kuatnya ideologi, akan luntur seiring waktu? Justru kita akan terjun atau masuk ke dalam sistem yang kita benci. Sekarang aku sudah tidak memikirkan pergolakan sosial yang terjadi di negeri ini. Aku hanya ingin fokus terhadap pekerjaanku, ibu bapak dan adik-adikku."

"akupun sama denganmu Bram. Aku mempunyai ketakutan. Aku takut tidak menjadi apa apa dilain hari. Sedangkan teman-teman ku sudah menemukan takdirnya. Aku takut di umur 30 tahun aku masih belum menjadi apa-apa. Diumur 30 tahun telah menjadi semacam simpang dimana orang-orang gagal dan sukses berpisah."

Mendengar ucapanku, Bram terdiam. Aku pun ikut terdiam.

Kami berdua sama-sama menatap matahari yang perlahan-lahan menghilang dari langit.

 

   Doa Santo Fransiskus dari Assisi.

 

Tuhan jadikanlah aku pembawa damai.

Bila ada kebencian, jadikan aku pembawa cinta kasih.

Bila ada sakit hati, jadikanlah aku pembawa pengampunan.

Bila ada keraguan, jadikanlah aku pembawa keyakinan.

Bila ada keputusasaan, jadikanlah aku pembawa harapan.

Bila ada kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang.

Bila ada kesedihan, jadikanlah aku pembawa kegembiraan.

Oh Tuhan allahku, limpahkanlah aku rahmat agar aku tidak mengharapkan:

Untuk di hibur, melainkan dihibur,

Untuk dipahami, melainkan memahami,

Untuk di kasihi, melainkan mengasihi,

Karena dalam memberi kami menerima,

Dalam mengampuni kami diampuni

Dalam kematian diri kami dilahirkan dalam kehidupan yang kekal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun