"kamu masih ingat? Sejak sekolah dulu kita sama sama membenci tirani, sama sama membenci cukong cukong yang bergelantungan dipemerintah. Sama sama membenci polisi yang dari petinggi sampai bawahannya bobrok semua. Aku masih memegang teguh prinsip kita. Hidup yang tak dipertaruhkan adalah hidup yang tak layak untuk dijalani." Sambungku lagi.
Bram menatapku dengan serius. "Tetapi bukankah sekuat kuatnya ideologi, akan luntur seiring waktu? Justru kita akan terjun atau masuk ke dalam sistem yang kita benci. Sekarang aku sudah tidak memikirkan pergolakan sosial yang terjadi di negeri ini. Aku hanya ingin fokus terhadap pekerjaanku, ibu bapak dan adik-adikku."
"akupun sama denganmu Bram. Aku mempunyai ketakutan. Aku takut tidak menjadi apa apa dilain hari. Sedangkan teman-teman ku sudah menemukan takdirnya. Aku takut di umur 30 tahun aku masih belum menjadi apa-apa. Diumur 30 tahun telah menjadi semacam simpang dimana orang-orang gagal dan sukses berpisah."
Mendengar ucapanku, Bram terdiam. Aku pun ikut terdiam.
Kami berdua sama-sama menatap matahari yang perlahan-lahan menghilang dari langit.
Â
  Doa Santo Fransiskus dari Assisi.
Â
Tuhan jadikanlah aku pembawa damai.
Bila ada kebencian, jadikan aku pembawa cinta kasih.
Bila ada sakit hati, jadikanlah aku pembawa pengampunan.