Sebari menunggu Bram, aku mencoba menyalakan rokok kretek yang tersisa dua batang. Di sekeliling kedai kopi, banyak sekali orang miskin yang mencoba peruntungan mengais rezeki. Ada tukang parkir, pengemis, pengamen, gembel, yang paling miris aku melihat seorang ibu membawa anaknya yang masih balita mengemis ngemis dibawah terik matahari yang pelan-pelan redup.
Mengapa banyak sekali orang-orang yang terbelenggu oleh kemiskinan? Orang-orang miskin di negerinya yang kaya? Menyedihkan memang, tetapi begitulah kenyataannya.
Bram akhirnya datang. Sempat memesan minuman dan makanan. Kita berbincang soal beban hidup masing-masing.
Bram bercerita tentang kehidupannya sebagai pekerja pabrik. Ia merasa perusahaan tempatnya bekerja hanya memeras tenaga dan waktunya. Ia dipaksa kerja pagi siang malam dan hanya mendapatkan upah yang tidak seberapa.
"akupun terkadang merasa iri kepada teman-teman ku yang sudah sukses, yang sudah menikah, yang sudah mempunyai penghasilan sendiri." Katanya
"kamu sekarang kerja dimana?" sambungnya
"aku belum bekerja, aku kuliah"
Mendengar jawaban ku, Bram tertawa.
"Kamu mahasiswa? Memangnya mau jadi apa? Pengacara? Untuk mempertahankan hukum orang kaya? Mau jadi dokter? Untuk mengobati kesehatan orang kaya, menganjurkan mereka makan makanan yang sehat, tidur yang cukup. Atau menjadi arsitek? Membangun rumah yang nyaman untuk tuan tanah? Tanah yang dirampas dari orang-orang miskin. Bapakmu saja menjadi petani sampai sekarang belum merasa sejahtera bukan? Padahal orang-orang kaya itu memakan nasi hasil jerih payah petani."
Aku tersenyum kecut.
"Tidak Bram, Aku ingin menjadi manusia yang merdeka. Ingin menjadi manusia yang bebas. Bersekutu dengan kaum tertindas dan melawan sistem sialan ini. Bram, coba liat sekelilingmu. Bukankah banyak sekalian orang-orang miskin? Orang-orang yang rindu keadilan? Aku bukan mahasiswa ambisius yang ingin menyelesaikan kuliah secepatnya dan gelar setinggi-tingginya. Aku ingin terjun ke arena pergulatan sosial yang menantang dan menjanjikan."