Di sekitar kita baik lingkungan sekolah maupun kantor, selalu ada orang yang sepertinya tidak sadar bahwa dia telah berbicara dengan suara yang begitu tinggi, sehingga terkadang harus ditegur agar mau memelankan volumenya.
Jika hal  ini terjadi ketika orang tersebut sedang marah atau memanggil orang lain di kejauhan, wajar saja. Namun, ada juga orang yang memang sudah bawaannya bicara dengan volume yang keras atau bernada tinggi.
Dalam Psikologi Perkembangan Anak, seorang anak yang memiliki kebiasaan berteriak saat bicara pada orang lain, pada dasarnya  memiliki kebutuhan yang tidak terpenuhi. Beberapa hal penyebab seorang anak lebih senang bicara tinggi, misalnya  karena terbiasa bicara keras dari orang tuanya atau karena lingkungannya bicara tinggi, mencari perhatian pada sekeliling, dan sering dimarahi dan  dibentak.
Bagaimana dengan orang dewasa?
Kebiasaan  bicara dengan suara tinggi bak berteriak ini akan menguntungkan buat  profesi  seorang pembicara atau guru, sehingga tidak perlu mengeluarkan tenaga untuk menyampaikan materi. Tapi di sisi lain, bawaan ini juga bisa membuat seseorang dicap kurang sopan atau dianggap sebagai orang yang suka marah-marah
Para peneliti mencoba mencari tahu mengapa ada orang yang bisa berbicara dengan suara tinggi, sementara yang lainnya lebih suka bicara pelan.
Dr Amee Shah, Direktur Speech Acoustics and Perception  Laboratory di Cleveland State University menjelaskan, "Ada 4 faktor yang membedakan hal ini, ada komponen biologis, patologis, kepribadian serta budaya. Kadang suara tinggi atau pelan dipengaruhi oleh bagaimana ia dibentuk,",
Dr Shah menjelaskan peran dari masing-masing komponen tersebut terhadap volume suara yang dimiliki seseorang yaitu:
1. Secara biologis semua orang lahir dengan ukuran laring dan kedalaman pita suara yang berbeda-beda, serta beberapa orang memiliki paru-paru yang lebih kecil sehingga tidak bisa menghasilkan aliran udara yang cukup untuk menciptakan volume suara yang tinggi.
2. Secara patologis volume suara seseorang disebabkan oleh perubahan dalam tingkat jaringan atau getaran dari pita suara. Pada beberapa orang yang merokok seumur hidup, memiliki bodul atau polip di pita suara umumnya suaranya pelan karena pita suaranya tidak bergetar cepat.
3. Kepribadian yang dimiliki juga berperan. Beberapa orang yang pemalu, menarik diri, merasa tidak nyaman dengan situasi sosial serta bukan tipe orang yang suka berbicara biasanya memiliki suara yang kecil. Namun jika seseorang sudah percaya diri atau pemberani biasanya ia memiliki suara yang tinggi.
4. Faktor budaya, kadang budaya tertentu membuat seseorang terbiasa dengan suara tinggi atau teriak, tapi ada pula budaya tertentu yang mencegah orang berbicara tinggi.
Seringkali orang yang bicara dengan suara tinggi  adalah pribadi yang tegas. Namun bisa juga sebaliknya, orang yang suka bicara tinggi adalah sosok yang ingin mendapat perhatian. Ia juga haus akan pujian dan dukungan dari orang sekitar. Hal itulah yang membuat dirinya sering berbicara dengan suara tinggi.
Orang yang memiliki latar belakang budaya tertentu  memiliki kebiasaan bersuara tinggi atau teriak tentunya menjadi pengecualian.
Orang yang sering bicara dengan suara keras  atau tinggi, biasanya adalah sosok yang ingin mendominasi atau memimpin. Ia ingin didengarkan saat mengeluarkan pendapat. Ia memang memiliki sifat pemimpin namun terkadang juga hanya bentuk dari rasa egoisnya.
Apabila faktor kepribadian berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk beradaptasi dengan situasi dan berbicara dengan banyak orang, faktor lingkungan lebih banyak berhubungan dengan kondisi keluarga. Banyak yang bilang, kebiasaan berbicara seperti sedang berteriak itu adalah keturunan, namun Shah menyatakan bahwa ini lebih bersifat kultural atau lingkungan.
"Orang yang datang dari keluarga besar biasanya terbiasa berbicara tinggi agar dapat lebih didengar daripada yang lain. Sementara pada budaya tertentu, berbicara terlalu tinggi dapat dianggap tidak sopan, terutama untuk wanita," jelas Shah lagi.
Orang yang berbicara tinggi umumnya lebih dipengaruhi oleh lingkungan dan bukan genetik. Tapi biasanya jika ayah, saudara dalam keluarga atau lingkungannya berbicara tinggi, maka ia akan mengikuti hal itu. Faktor lingkungan bisa disebabkan karena lingkungan adat dan budaya. Budaya orang yang berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah tentunya berbeda dengan orang yang berasal dari Jawa Timur. Akan jauh lebih berbeda lagi dibandingkan dengan orang yang berasal dari Sumatera khususnya Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Sumatera Selatan.  Tentunya  sama halnya dengan orang yang berasal dari Sulawesi Selatan atau Maluku serta Papua.
Sementara faktor patologis berkaitan dengan perubahan pada volume suara seseorang, sejalan dengan adanya perubahan pada jaringan maupun getaran yang terjadi pada pita suara.
Sejalan dengan usia, jaringan pita suara mengalami perubahan. Orang yang perokok juga dapat mengalami perubahan pada pita suaranya. Dengan sendirinya, volume suara dapat terpengaruh.
Orang yang memiliki kepercayaan diri yang rendah, meski ia adalah orang asik, biasanya akan menutupinya dengan suara yang tinggi dengan tujuan agar terlihat lebih superior atas lainnya.
Mereka dengan sifat seperti ini, biasanya bertendensi haus akan pujian atau komen positif dari orang lain di sekitarnya. Tanpa ini, mereka bisa saja merasa gelisah.
Kondisi ini, menurut J.S. von Dacre, penulis asal Inggris yang juga advokat, disebabkan oleh buruknya hubungan antara anak dan orang tua. Seperti kekurangan dukungan, kasih sayang atau perhatian di masa pertumbuhannya.
Selain itu, J.S. von Dacre menambahkan, tekanan dari lingkungan sekitar, trauma di masa lalu, pikiran negatif dan ekspektasi yang tinggi terhadap orang lain juga bertanggungjawab atas kondisi ini
Dalam sebuah penelitian psikologi terhadap puluhan peserta yang terdiri dari 50  orang laki laki dan perempuan dari berbagai latar belakang melakukan wawancara yang  dibuat sevariatif mungkin.
Para peserta ini dihadapkan oleh para pewawancara yang disetel memiliki  posisi dan jabatan yang berbeda beda yaitu lebih tinggi,  sama dan yang lebih rendah dari para peserta. Pewawancara diperkenalkan dan diberi setelan sesuai dengan posisinya masing masing. Pewawancara yang lebih dominan memiliki penampilan yang lebih mahal, titel yang banyak, dan pengalaman yang lebih beragam  dibandingkan peserta. Pewawancara yang netral memiliki penampilan yang sama, titel dan jabatan yang sepadan  dengan peserta, dan terakhir pewawancara yang lebih rendah dibuat dengan penampilan yang sederhana dan jabatan yang lebih rendah dari peserta.
Perbedaan yang muncul  ditemukan pada respon peserta, jika posisi peserta dirasa sama dengan pewawancara, maka peserta akan memberikan nada rendah. Peserta yang memiliki harga diri yang tinggi akan memberikan nada suara yang stabil atau konstan,  menyiratkan bahwa ada hubungan antara persepsi diri terhadap status sosial dan perilaku terhadap orang lain saat diwawancara.
Semakin seseorang menjadi dominan, semakin tidak perlu khawatir soal dominasi orang lain. Nada suara peserta bisa menjadi netral dan biasa saja. Jadi, peserta dapat  ngomong sesukanya. Di waktu yang sama, semakin peserta  merasa lebih tinggi dan dominan dari pewawancara, nada suara semakin rendah, semakin santai dan rileks,  yang membuat para peserta  beralasan orang-orang akan lebih memerhatikannya.
Ketika peserta diwawancara oleh orang yang  dominan , orang yang memiliki penampilan yang mahal, titel yang banyak dan jabatan yang lebih tinggi ,  suara peserta  menjadi lebih tinggi.
Diperoleh beberapa kesimpulan. Ternyata perbedaan nada suara disebabkan karena masalah dominasi  perbedaan status sosial peserta. Temuan-temuan lain seperti dengan pertanyaan yang intimidatif,  menunjukkan  peserta merubah  suara untuk menyesuaikan dengan konteks sosial yang dihadapi, seperti berbicara dengan pewawancara yang intimidatif, biasanya peserta otomatis meninggikan suara tanpa berpikir.
Nada suara  dan hal lainnya ternyata sangat mempengaruhi persepsi akan status sosial. Nada suara sama halnya dengan hal lainnya sangat   mempengaruhi cara kita dipandang. Seperti postur tubuh, bahasa yang kita gunakan, atau bentuk wajah dan ekspresi kita, suara-suara kita menjadi bagian dari sinyal yang memengaruhi persepsi akan status sosial..
Kesimpulan,  suara  tinggi  yang dikeluarkan oleh orang dengan karakteristik lebih tinggi  adalah untuk mengkamuflase atau menutupi karakter mereka yang sebenarnya. Hal ini dapat disebabkan beberapa faktor yang mempengaruhinya, salah satunya adalah keinginan diri untuk diperhitungkan oleh lawan bicara.
Faktor inilah yang mengakibatkan seseorang menaikkan lebih tinggi nada suaranya.
Mempelajari nada suara sesuai dengan kondisi yang diharapkan sebenarnya mudah. Menurut Shah, untuk belajar bicara lebih tinggi bisa dikuasai dengan  belajar teknik-teknik berbicara dan mengendalikan pernafasan dengan lebih efektif.
Yang lebih sulit adalah belajar untuk merendahkan volume suara, karena sebagian orang yang biasa bicara tinggi  tidak menyadarinya. Mereka baru sadar bila ada yang menegur. Mereka  lebih fokus pada pokok pembicaraan dan tidak begitu memerhatikan soal volume suara.
Setiap  orang dapat melatih dirinya sendiri untuk berbicara lebih rendah sekaligus lebih tenang. Dan pada akhirnya, bukan masalah tentang lebih tinggi atau rendah nada suara, akan tetapi kemampuan kita untuk tidak melibatkan emosi pribadi saat berbicara dengan orang yang kita hormati atau dengan siapapun lawan bicara. Status sosial atau harga diri tidak ditentukan oleh  nada tinggi atau rendah suara, tetapi isi dari apa yang dikatakan lebih menunjukkan siapa diri Anda yang sebenarnya, tentunya lebih enak jika dapat disampaikan tanpa nada tinggi.Â
 Selamat bereksperimen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H