Mohon tunggu...
Antonetta Maryanti
Antonetta Maryanti Mohon Tunggu... Ibu Rumah Tangga -

Seorang Ibu Rumah Tangga yang tak pernah berhenti belajar dan suka menulis. "Orang-orang terdidik adalah orang-orang yang senantiasa mendidik dirinya sendiri."

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bocah Berbaju Merah dan Kuning

25 September 2017   06:14 Diperbarui: 25 September 2017   06:45 1317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://duhocquocte.us

Selasa sore di akhir agustus itu adalah sore yang cerah. Setelah  anak-anaknya siap, Maya lalu membawa mereka untuk mengikuti kelas bahasa  Inggris untuk anak-anak, yang di berikan oleh pak Robert,seorang  pengajar yang baru saja menyelesaikan pendidikan S-2nya di Australia.

Joel dan Joyce, anak-anaknya juga sangat antusias untuk mengikuti  kelas itu. Sepertinya aura pak Robert lebih memiliki medan magnet yang  lebih besar ketimbang dirinya yang kerap mencoba untuk memberikan  pendidikan bahasa Inggris di rumah dengan sedikit modal cuap-cuap yang  dimilikinya. Dengan alasan biar anak-anak bisa bersosialisasi dengan  kawan-kawan barunya, maka setiap hari Selasa Maya selalu meluangkan  waktu untuk mengantar dan menunggui mereka hingga selesai.

Angin kencang berhembus, meniup rambutnya dan hawa dingin seperti menusuk kulitnya. Ia lalu mengenakan jaketnya. "Sekarang sudah hangat," katanya setengah berbisik kepada hembusan angin. Ia lalu melanjutkan  bacaannya. Di halaman ketiga puluh, ia berhenti sebentar setelah sosok  dua anak mencuri perhatiannya. Bocah berbaju merah dan bocah berbaju  kuning yang memegang keranjang plastik. Dari balik pohon mereka saling  mendorong sebelum salah satu dari mereka berkata, "tanta, tanta mau beli  kue ko?"

Maya lalu teringat lembaran dua puluh ribuan di saku jaketnya, "kue  apa? Mari kesini," jawab Maya dengan tersenyum. Dan setengah berlari dua  bocah itu lalu menghampirinya.

"Ini tanta, yang bungkus pisang ini namanya kue lemet, yang  bulat-bulat ini namanya kue onde goreng dari ubi tanta, dan yang ini  tanta sudah tahu kan namanya?" kata bocah berbaju merah perlahan-lahan  sembari mengatur irama napasnya tak lupa senyum terus menghias wajahnya.

"Oh belum, itu kue namanya apa?"

"ah tanta son tahu ko ini kue pung nama?" kata bocah berbaju merah  yang sedari tadi mendominasi percakapan, dengan wajah dibuat terperanjat  dan dengan senyum menahan tawa.

Tentu saja itu kue pisang. Kalau di tempat kelahirannya pisang yang  digoreng itu selalu disajikan atau dijual berbonuskan sambal belimbing  atau sambal tomat yang digoreng, tapi tidak di tempat mereka tinggal,  pisang goreng tak bertemankan sambal.

Tangan anak yang berbaju kuning terlihat sedang mengambil buku Maya.

"Tanta suka baca buku?"

"Iya. Kalian suka tidak?"

"Son suka," jawab bocah berbaju merah. Sedangkan si bocah berbaju  kuning hanya terdiam sambil membolak balik halaman buku Maya, "Lelaki  tua dan laut," matanya beralih dari halaman yang satu ke halaman yang  lainnya, "wuih kawan e semua halaman tulisannya sama Lelaki tua dan  laut," ujarnya kepada saudaranya.

"Mana, mana coba beta lihat," kali ini bocah berbaju merah juga ingin  melihatnya, "ho semua sama nih ma," sahut bocah berbaju merah.

Mereka sudah pasti membaca header buku tersebut, dimana judulnya ada  di sebelah kanan atas di halaman-halaman ganjil. Setelah melihat-lihat  sepintas isi buku. Bocah berbaju kuning itu mengembalikannya kepada  Maya.

"Suka baca?" tanya Maya kepadanya.

"Sonde tanta, sonde suka," jawabnya.

"Nah sekarang bungkuskan kuenya sudah," kata Maya.

Bocah berbaju merah itu ber kulit hitam, sedikit lusuh, dan seperti  ada bekas goresan di pipi kirinya, bibirnya kering. Tangan kirinya  menjepit sebuah tas kulit imitasi yang sudah putus pegangannya, tas yang  sudah pasti bukan miliknya.

"Kalian tinggal dimana?"

"Tondao tanta."

Hati Maya memekik kaget, "Tondao?" itu jarak yang sangat jauh. Ia  saja terkadang merasa malas jika harus kesana meskipun tak harus  berjalan kaki.

"Kalian jalan kaki dari sana sampai ke sini?"

"Tidak tanta, kakak antar kami sampai di cabang depan baru kami jalan kaki bajual."

"Syukurlah,"Maya berbisik kepada dirinya sambil mengusap pelan dadanya.

"Lalu sampai jam berapa kalian jualan?"

"Sampai habis tanta, terkadang jam setengah sembilan baru kami sampai  di rumah, biasanya kami meminta tumpangan ke orang-orang yang lewat,  lebih sering kami berjalan kaki,"jawab bocah berbaju merah.

"Grasshopper, ladybird, frog,..." suara anak-anak bergantian dari dalam  ruangan sementara kami bertransaksi kue dan bercerita di teras.

"Anak-anak ini harus merelakan waktu bermainnya, atau waktu  belajarnya untuk membantu orang tua mereka mencari nafkah. Sungguh dua  situasi yang berbeda, di saat anak-anaknya melafalkan kosakata bahasa  Inggris di ruangan yang nyaman, ada banyak anak yang harus bertelanjang  kaki, menjajakan kue buatan ibunya atau omanya," Maya tak henti  membatin.

Rasanya ia ingin memborong semua kue yang tersisa, tapinya uangnya  hanya cukup untuk membeli dua pertiga dari seluruh jualan mereka yang  tersisa.

Maya mencicipi satu onde ubi berisi gula, "hem ini enak, siapa yang buat? Mama kah?" tanya Maya.

"Bukan tanta, itu Oma yang buat."

Ia masih ingin berbagi cerita dengan anak-anak itu, "tanta beta bisa  minta air kah?" tanya bocah si baju merah membuatnya menelan kembali  semua pertanyaan.

Air, ia memang ingin memberikan dua gelas air kepada mereka berdua,  tapi karena ia tidak berada di rumahnya, ia jadi mengurungkan niatnya.

Maya masuk ke dalam, menyela pelajaran yang sedang berlangsung, lalu  kembali dengan membawa segelas air. Bocah berbaju merah itu menandaskan  gelas di tangannya dalam hitungan detik.

"Nah, ko pu teman sonde dapat air."

"Tanta e, beta talalu haus nah."

Maya kini merogoh saku-sakunya, dan ada lima ribuan di antara  sampah-sampah kulit permen yang memenuhi sakunya. "Ini buat kalian  berdua, pakai beli air e, itu di depan sana ada kios, singgah beli air  disana," kata Maya kepada mereka berdua.

"Terimakasih tanta. Nah kami jalan su tanta, kue sisa masih banyak  nih," kata mereka. Dan kaki-kaki kecil itu bergerak menjauh perlahan  hingga bayangannya ditelan tikungan jalan.

"Anak-anak sekecil itu sudah harus berkelahi dengan waktu. Miris  memang melihat anak-anak seusia Joel dan Joyce yang harus berjibaku  dengan tanggung jawab lain, dimana harusnya mereka mendapatkan  pengalaman masa kecil bersama teman-teman. Saya percaya bahwa belasan,  puluhan, atau bahkan ratusan kilo yang sudah dan akan mereka lalui,  adalah guru terbaik mereka tentang hidup. Joel dan Joyce sudah  seharusnya belajar bersyukur dari kehidupan anak-anak itu," semua  pikirannya seperti bersatu dengan angin yang semakin reda bersama langit  yang mulai terlihat kelabu.

"Okay pelajaran kita hari ini selesai," kalimat itu membuyarkan  lamunan Maya. Ia lalu mengemasi tasnya, dan membawa bungkusan kue ke  dalam untuk dinikmati bersama.

Laman Blog Pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun