Mohon tunggu...
Siti Royani
Siti Royani Mohon Tunggu... Freelancer - IRT yang doyan nulis dan membaca. Senang membagikan resep-resep makanan dan kisah-kisah fiksi

Blogger & Copy Writer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setelah Delapan Tahun Berlalu

20 September 2019   11:02 Diperbarui: 23 September 2019   13:49 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

''Tapi Lik Lastri itu sebenarnya masih dendam sama bapak, Bu. Nano sudah tahu semuanya,  entah bapak tahu masalah ini apa tidak.''

''Ibu sudah berkali-kali menasihati bapakmu, No. Namun prinsip bapakmu lain. Katanya saudara, ya saudara. Tidak ada dendam yang melewati tahun, bila sesama saudara sendiri. Ya, sudah. Itu katanya. Terus kita bisa apa untuk meningatkan dirinya? ''

Nano mendengus. Tapi uang sudah terlanjur diberikan kepada buleknya. Dan menurut cerita sang ibu, dia juga dilarang mendekat untuk ikut campur. Jadi harus dengan cara apa untuk mencegah ulah busuk Lastri? Apakah pembagiannya akan adil? Ataukah uang tersebut masuk ke kantong wanita itu sendiri?

Otak Nano terus berputar-putar memikirkan sikap bapaknya. Sementara hari pemilihan kepala desa makin hari makin mendekat puncaknya. Hanya tinggal beberapa hari saja. Dan ironisnya, Yus juga semakin percaya dengan adik sepupunya tersebut. Tak mengindahkan nasihat maupun peringatan istri dan anak sulungnya. Ungkapan mereka terbantah, dengan adanya orang yang mulai berduyun-duyun mendatangi rumah Yus, untuk melekan (bertamu pada malam hari). Jadi semakin sulitlah Nano dan Dewi meyakinkan hati Yus, agar lebih waspada pada Lastri.

Entah apa yang ada di pikiran orang-orang, yang tiap malam selalu menyambangi rumah orang tuanya itu. Apakah 100% akan mendukung bapaknya menjadi petinggi lagi. Ataukah semua itu adalah tipu muslihat dari orang-orang yang merasa tak puas atas kepemimpinan bapaknya dalam mengatur desanya kemarin. Bermuka manis di depan. Akan tetapi pada gilirannya, menusuk secara beramai-ramai dari belakang saat pilkades dilaksanakan.

Tak tahulah! Semakin Nano berpikir, bukannya jalan terang yang didapat. Tapi justru otaknya kian kacau. Tak bisa berpikir jernih lagi. Sementara rumahnya setiap malam memang pada kenyataannya tak pernah sepi dari orang-orang yang datang. Jadi bagaimana ia mengingatkan bapaknya untuk selalu berhati-hati?

**

Sementara itu di rumah Lastri beberapa waktu yang lalu, hiruk pikuk juga terjadi. Sebagai orang yang merasa masih kerabat dari Yus, wanita tersebut juga ikut menyibukkan diri. Setiap tamu atau orang pernah diberikan uang dari Yus lewat tangannya berkunjung ke rumah Lastri, langsung disuguhi minuman berupa teh manis atau air putih. Yang sebelumnya telah ditaburi garam. Oleh-oleh dari tempat orang pintar yang dulu pernah dipakai jasanya di ajang pemilihan lurah delapan tahun yang lalu. Namun ironisnya dia tetap kalah. Tidak manjur mantranya. Dan Yus tetap yang menang.

''Aku masih memercayai kekuatanmu. Mungkin aku sedikit kecewa waktu itu. Tapi waktu delapan tahun bukanlah waktu yang lama. Apakah rentang waktu selama itu, ilmumu tidak bertambah?  Nah, kali ini kuberi kau kesempatan lagi. Bantulah aku untuk yang terakhir kali. Jika berhasil aku tidak akan pernah melupakan jasamu.'' Ujar Lastri pada lelaki tua yang diketahui adalah dukunnya yang membantu dia saat bersaing mengalahkan Yus dulu.

Hati Lastri masih sangat sakit sekali, pada saat dia dikalahkan oleh Yus dulu. Sebenarnya mereka masih terikat saudara dekat satu kakek yang sama. Tapi kakek mereka cenderung lebih menyayangi Yus ketimbang Lastri. Alasannya, sebab waktu itu ayah Lastri yang notabene adalah paman Yus, menikahi ibu Lastri yang berstatus janda. Pun demikian, Lastri kecil berusaha mengakrabkan diri dengan Yus. Walau semua perjuangannya tersebut sia-sia belaka. Kakeknya tetap mengabaikan kehadiran Lastri. Sampai lama-lama timbullah rasa iri dan dengki di hati wanita itu.

Berpuluh-puluh tahun Lastri harus menerima kenyataan pahit itu. Sampai puncaknya pada perhelatan pilkades beberapa tahun yang lalu. Seluruh kerabatnya yakni saudara-saudara sendiri bahkan kakeknya juga mendukung Yus. Dan dia dibiarkan berjuang sendiri sampai akhirnya benar-benar kalah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun