" Hai, selamat pagi juga " kulihat wajahnya segar walau aku tahu ia pasti belum mandi dengan suhu sedingin ini di pagi hari.
" Emh..kebetulan aku  tidak ada kegiatan ,aku tak tahu mau pergi kemana.. bisa kasih ide ? " tanyaku, terdengar jujur, tapi seperti orang yang ingin diundang masuk
" Masuklah,...tapi kamarku berantakan. Aku baru saja mengirim laporan ke kantorku, aku harap mereka bisa segera mendapatkan penggantiku. Sebentar lagi aku dipindah ke kantor pusat di  Amerika " Gracia bekerja sebagai seorang akuntan di Manila Kemampuannya akan membawanya ke kantor pusatnya di New York.
Dalam sekejap kami terlibat pembucaraan hangat, yang terpisah dari kelompok kecilku yang penuh formalitas itu. Aku terkejut melihatnya membawa gitar. Ah, ia pandai bermain musik . Gracia begitu beda, apakah karena aku berada seorang diri, disini, dan hanya dia yang ada . Aku teringat guyonan temanku semasa mahasiswa ketika kami melaksanakan program KKN disebuah desa di Wonogiri. " Jay, di desa ini, kambingpun lama-lama cantik...lha kita terpencil begini " waktu itu aku tertawa terkekeh. Sekarang, apa aku sedang KKN juga.?  Tentu saja tidak . Gracia memang cukup cantik dan menyenangkan sebagai teman,  Pakaiannya yang dikenakan juga biasa, ia tidak mengumbar tubuhnya.
Siangnya kami makan siang bersama di stasiun Urasa, menikmati Ramen. Bukan hanya ramennya yang sedap tapi kencan kami, ya kencan kami.
Kami sebenarmnya tidak ingin menutupi hubungan kami karena  memang kami bersikap biasa di kampus, tak ada yang istimewa . Hanya kulihat Siti mulai mendeteksi keakrabanku dengan Gracia. Ia mulai menilai aku terlalu menyetujui setiap usulan Gracia. Padahal, kadang-kadang memang Gracia beride cemerlang. Bagaimana mungkin aku memilih pendapat Lee yang terlalu rumit dan orang enggan mendengarnya ? atau dua India yang lebih sering berbincang sendiri ?
Malam ini ada Matsuri di Urasa. Suasananya seperti acara Sekaten kecil-kecilan . Ada Penjual makanan khas seperti Okanomiyaki, Yakitori, ada mainan memancing dengan hadiah yang juga bohong, karena isisnya hanya permen dan bukan uang seribu Yen seperti yang dijanjikan. . Kelompok kami berencana kumpul-kumpul. Kami janji bertemu di kampus jam tujuh malam.
Kali ini aku sudah tak malu lagi menyelimuti overcoatku ke tubuh Gracia, dan aku sendiri cukup memakai sweater yang tersisa di tubuhku saja. Aku mulai ketakutan dan tersiksa jika waktu akan berlalu cepat tanpa bisa berada  didekatnya. Tiba-tiba aku teringat Tetsu-san. Aku ingin membagi kebahagiaanku dan mengenalkan mereka kepadanya. Sayangnya , Tetsu harus menjemput kekasihnya ke Osaka. Entah , kenapa aku justru lega , aku tak bisa membayangkan apa komentar Tetsu nantinya tentang ketertarikanku kepada Gracia.
Kami makan bersama berenam, mendengar cerita lucu Rajiv yang hampir tersesat di Tokyo. Untunglah ia bertemu dengan seorang kakek yang pandai bahasa Inggris. Mereka diantar oleh kakek yang ternyata mantan Tentara Perang Dunia II, ke tempat reuni. Imbalannya, sepanjang jalan mereka harus sabar  mendengar cerita tentang perang. Malam itu Siti cukup bijaksana, kulihat ia mulai akrab dengan Lee namun dalam batas teman.
Jam sembilan kami bubar dan tentu saja aku pulang bersama Gracia. Ah, dua bulan lagi...kenapa kau tak berani mengandenganya. Kamu tolol Jay. Tolol sekali. Terdengar umpatan ditelingaku. Turun dari taxi, aku meraih tanganya, pura-pura membantunya berdiri. Tak kusangka , ia membalas hangat tanganku. Kami saling meremas tangan , menghilangkan dingin. Aku tak peduli lagi dengan kehebohan Yuki Guni yang saljunya sedikit-sedikit sudah mulai menghilang dari atap Casa Italia. Kami berpandangan, tersenyum, berharap pintu lift masih jauh sekali. Didepan kamarnya, akhirnya kami berhadapan'
" Bolehkah ? ...?" tanyaku perlahan. Ia memejamkan matanya, kukecup keningnya beberapa saat, begitu indah malam itu. Sampai disitu, aku berpamitan,