Pertama, nasionalisme sipil, yaitu nasionalisme yang didasarkan pada usaha mempertahankan proses demokratisasi, karena dianggap bisa memberikan keadilan.
Kedua, nasionalisme SARA, yakni solidaritas atas dasar persamaan ras, budaya, agama, bahasa, sejarah dan sebagainya.
Ketiga, nasionalisme revolusioner, yaitu usaha mempertahankan identitas kebangsaan otentik dengan berjuang menghadirkan rezim baru yang mumpuni dan lebih baik.
Keempat, nasionalisme kontra revolusioner, yakni ketika rezim yang telah ada berusaha mempertahankan kekuasaannya, berhadapan dengan kelompok perubahan.
Setiap lapisan masyarakat apapun statusnya penting menjiwai semangat nasionalisme sebagai sebuah itikad atau landasan etis dalam seluruh aktivitas sosial. Kendati demikian, berhadapan dengan sebuah situasi batas yang menuntut kita untuk menyelamatkan eksistensi dan kedaulatan sebuah bangsa, landasan etis mesti juga dipertimbangkan dan diposisikan sebagai aspek atributif dari sebuah kehendak baik.
Merujuk pada peta persoalan ancaman konflik di Laut China Selatan, sepertinya semangat kebangsaan atau nasionalisme sebatas atributif yang melekat erat pada tindakan praktis. Kita mesti berani membongkar sebuah sistem yang problematis sekaligus mengafirmasi sebuah kedaulatan sebagai nilai yang mewadahi kultur dan keadaban sebuah bangsa-negara (nation-state). Kita tidak perlu gentar dan pantang mundur menyuarakan gerakan perubahan untuk menjangkau tatanan kultur bangsa yang setara dan dipandang terhormat di mata dunia.
Konsistensi sikap dan arah kebijakan bangsa ini mestinya dikawal agar tidak terjerembab pada ranah politis semata, tetapi mengedepankan nilai patriotisme sejati yang dibingkai semangat juang, dan menentang maraknya budaya kolonialisme modern. Kita tak perlu mawas diri atas asimilasi budaya yang secara kasat mata membawa dampak negatif dan berpotensi menggerus keutamaan nilai dan asas-asas kepatutan yang telah lama tumbuh dan menjiwai seluruh tatanan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Afirmasi atas kedaulatan menjadi sebuah kharusan di tengah eskalasi konflik dunia yang terus menguat dan memberi ancaman secara berkala dan masif. Kita jangan selangkah pun lengah dan salah jalan untuk memupuk keberanian dalam diri untuk menyuarakan identitas dan nilai-nilai kearifan budaya yang selamanya ada dan dibanggakan di dunia.
Kepentingan politis dan hubungan bilateral yang kadang tendensius dan syarat barter politik antar lintas sektor mesti direduksi sedini mungkin dari arah kebijakan pemerintahan dan tata negara ini. Tidak penting kita meladeni kontrak politik sebuah bangsa (tamu) yang tidak sejalan visi-misinya dalam mengedepankan asas afirmatif atas keutamaan nilai dan kedaulatan bangsa.
Kita teguh menyuarakan kepada dunia bahwa Indonesia adalah sebuah negara berdaulat. Negara yang bebas dan merdeka. Kita gaungkan kepada dunia bahwa sebagai bangsa yang berdaulat, kita juga kokoh membuat persetujuan internasional, dan menyatakan perang dan mengadakan perdamaian.
Ancaman konflik adalah fakta yang menghendaki kita beraksi dan bersaksi demi bangsa ini. Kesaksian semua pihak adalah wujud nyata sikap bela negara melalui cara apa pun sejauh berdampak positif dan tercatat dalam sejarah bangsa.